Bacaini.ID, KEDIRI – Sejumlah catatan sejarah hanya menuliskan Soedjatmoko, tanpa gelar di depan atau di belakang namanya. Tapi orang-orang dekatnya lebih suka memanggilnya Koko.
Koko jadi panggilan akrabnya sejak kecil. Diucapkan oleh orang tua dan kerabatnya. Kemudian sahabat, teman dan koleganya juga memanggilnya demikian. Bung Koko. Soedjatmoko.
Baca Juga:
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer yang Berdarah Kediri
- 100 Tahun Pramoedya, Berikut Sastrawan Indonesia yang Karyanya Telah Mendunia
- Mengenang Soe Hok Gie Sebagai Sejarawan yang Jernih
Roeslan Abdoelgani menyebut Soedjatmoko sebagai kiai intelektual. Sosok istimewa dengan pikiran yang luas dan mendalam. Kritiknya yang selalu tajam namun sopan.
“Tak punya pamrih serta bicara jujur,” demikian dikutip dari buku Pergumulan Seorang Intelektual, Biografi Soedjatmoko oleh Bacaini.id Selasa (23/12/2025).
Goenawan Mohamad menyebutnya sebagai contoh terbaik. Soedjatmoko adalah seorang cendikiawan, seorang intelegensia par excellence, sekaligus sebuah teladan.
Kuntowijoyo mengatakan, dalam sejarah pemikiran di Indonesia, Soedjatmoko adalah orang pertama yang berbicara tentang pembangunan yang mengaitkan dengan kebudayaan.
Lahir 10 Januari 1922 di Sawahlunto, Sumatera Barat Soedjatmoko Mangoendiningrat merupakan adik ipar Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama Indonesia.
Ayahnya, Saleh Mangoendiningrat seorang dokter asal Madiun Jawa Timur. Sedangkan ibunya, Isnadikin berasal dari Ponorogo
Bung Koko berlatar belakang pendidikan kedokteran. Sekolah dokter ditempuhnya di Batavia (Jakarta), namun tidak lulus karena dikeluarkan oleh rezim militer Jepang pada tahun 1943.
Soedjatmoko kemudian memilih tinggal di Solo Jawa Tengah hingga tahun 1947. Bersama ayahnya membuka praktik pengobatan dan setelah itu terbang ke New York Amerika Serikat.
Di Lake Success New York, Soedjatmoko bersama 2 pemuda lain mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pada tahun 1952 Soedjatmoko pulang ke tanah air. Bergabung dengan PSI (Partai Sosialis Indonesia), mendirikan harian Pedoman dan terpilih sebagai anggota konstituante.
Sebagaimana garis politik PSI, Soedjatmoko berseberangan dengan Soekarno. Kritiknya tajam. Terutama terhadap pemerintahan Soekarno yang semakin otoriter.
Juga tidak gentar berhadap-hadapan dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Buyung Saleh dan Sitor Situmorang yang mewakili Lekra dan LKN.
Saat itu Soedjatmoko sebagai pengasuh ruang budaya Gelanggang di majalah Siasat, menggantikan penyair Chairil Anwar. Humanisme Universal jadi kredonya. Nama Mangoendiningrat di belakang namanya ia tanggalkan karena dianggapnya feodal.
Pada tahun 1968 Bung Koko menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat (1968-1971) sekaligus penasihat Adam Malik yang menjadi menteri luar negeri.
Pada tahun 1978 ia menerima penghargaan Ramon Magsaysay untuk Hubungan Internasional. Kemudian diangkat jadi rektor Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Menjabat sejak tahun 1980 hingga 1987.
Soedjatmoko mengalami serangan jantung pada saat menyampaikan kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Peristiwa itu terjadi pada 21 Desember 1989. Bung Koko tutup usia.
“Kita semua akui dia adalah satu-satunya cendikiawan Indonesia di segala bidang yang diakui dunia,” demikian dikutip dari Pergumulan Seorang Intelektual, Biografi Soedjatmoko.
Penulis: Solichan Arif





