Bacaini.ID, KEDIRI – Kapal Jung ternyata sudah ada jauh sebelum kapal Pinisi. Kapal buatan Jawa ini terkenal karena ukurannya yang besar. Macam kapal kargo dengan fungsi ganda: kapal dagang sekaligus perang.
Kapal Jung Jawa, disebut juga djong, junk atau jong. Catatan penulisan nama kapal ini beragam sesuai negara yang menulisnya. Seperti ‘junco’ di Portugis, jonque di Prancis, zonchi di Italia dan sebagainya.
Kata ‘jong’ atau Jung pertama kali tercatat dalam bahasa Jawa Kuno dari sebuah prasasti Bali pada abad ke-11 Masehi. Disebutkan dalam Prasasti Sembiran (1065 M) bahwa para saudagar datang ke Manasa di Bali menggunakan jong dan bahitra.
Sementara catatan pertama jong dalam sastra berasal dari Kakawin Bhomantaka, tertanggal akhir abad ke-12 Masehi. Kapal raksasa maritim kuno ini ada di abad ke-8 dan mencapai puncak kejayaannya di era Kerajaan Majapahit.
Kapal Jung Jawa tercatat dalam sejarah mampu mengarungi samudra luas hingga membuat bangsa Eropa kagum. Walaupun sayangnya kemudian terlupakan.
Baca Juga:
- Tabiat Raden Saleh yang Royal Kirim Barang Antik ke Eropa
- Cerita Pangreh Praja yang Berwatak Oportunis Sejak Era Kolonial
- Mitos Siklus Minta Tumbal di Erupsi Semeru, Benarkah?
Teknologi Kapal Jung Jawa
Kapal Jung Jawa memiliki ukuran raksasa mencapai 100 meter dengan berat rata-rata 400-500 ton. Mampu mengangkut muatan 40-2000 ton. Artinya bobot mati rata-rata Jung saat berlayar 1200–1400 ton.
Jung menjadi salah satu kapal terbesar di masanya. Dibuat dari kayu jati dengan teknik pembuatan yang unik: papan-papan kayu jati direkatkan dengan pasak, bukan paku atau besi.
Papan kayu jati disusun hingga empat lapis. Dinding kapal menjadi tebal, kuat dan tahan dengan serangan meriam ringan di eranya. Pada kapal berdiri 2-4 tiang layar besar berbentuk tanja, desain layar khas kapal Asia Tenggara kuno.
Kapal Jung memakai sistem navigasi yang tergolong sudah canggih. Memakai teknik astronomi navigasi jalur bintang, tanda-tanda alam, kompas dan kartografi.
Sejarah Kapal Jung Jawa
Kapal Jung Jawa tercatat pernah digunakan sebagai armada perang maupun dagang oleh Kerajaan Majapahit, Kesultanan Demak dan Kesultanan Kalinyamat.
Sementara Kesultanan Mataram lebih dominan menggunakan kapal ini sebagai kapal dagang. Catatan para sejarawan kuno mengenai kapal titan asal Nusantara ini ditemukan sekitar 2000 tahun lalu.
• Sekitar tahun 150 Masehi, seorang ahli geografi Romawi bernama Claudius Ptolemaeus menulis buku Geography. Di dalamnya mencatat adanya kapal yang disebut ‘kolandiaphonta’ di perairan Asia Tenggara.
Ini menunjukkan bahwa kapal-kapal besar dari wilayah Nusantara sudah dikenal oleh bangsa Barat kuno. Dalam catatannya disebutkan bangsa Cina menyebut kapal yang sama sebagai ‘K’un-lun po’.
• Catatan mengenai kapal ini juga dibuat oleh Faxian (Fa Shien) seorang biarawan Tiongkok yang juga pengembara abad ke-5 Masehi.
Dalam perjalanan pulangnya ke China dari India di sekitar tahun 413-414, ia menaiki kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K’un-lun (Nusantara).
Dalam perjalanan, kapal dihantam topan dan memaksanya penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa-Jawa).
Banyak catatan lain baik dari para sejarawan kuno, para pengembara maupun orang-orang yang berhubungan dengan perdagangan mengenai kapal besar dari Nusantara ini.
Selebihnya, bukti sejarah berupa prasasti, kakawin, sastra dan lainnya dari dalam negeri juga banyak ditemukan.
Masa ‘Keruntuhan’ Jung Jawa
Menurut pendapat para sejarawan, pamor Kapal Jung Jawa meredup bermula dari kegagalan kapal ini dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah.
Kekuatan maritim Nusantara mulai menggunakan kapal-kapal perang yang lebih kecil dan meninggalkan Jung.
Di lain sisi, tradisi maritim Jawa menjadi hilang akibat dari kebijakan raja-raja nya sendiri yang lebih memusatkan kekuatan angkatan darat setelah mereka terhadap Portugis.
Sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota-kota pesisir utara Jawa menjadi catatan sejarah tersendiri atas hilangnya tradisi maritim Jawa.
Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan untuk mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak.
Kebijakan ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Medang sampai Majapahit, dan mengubah Mataram menjadi negara agraris.
Dalam laporan Kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC), Batavia Daghregister menyebutkan pada 1677 orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal bahkan untuk penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





