Bacaini.ID, KEDIRI – Jalan Guyangan di kawasan monumen Simpang Lima Gumul sedang mengalami penataan besar-besaran. Jalan yang memiliki kesamaan nama dengan lokalisasi di Nganjuk ini menyimpan kisah-kisah leluhur dan mitos air yang membentuk identitas lokal.
Jalan Guyangan terletak di Desa Paron, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri. Kawasan ini berada di sekitar Simpang Lima Gumul, ikon wisata dan pusat aktivitas masyarakat Kediri.
Sejak Agustus 2025, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri memulai pembangunan jalur pedestrian baru dan Ruang Terbuka Hijaudi sisi barat Sungai Paron. Proyek ini ditargetkan selesai pada Desember 2025, dan akan dibuka untuk publik pada awal 2026.
Penataan ini bertujuan memperindah wajah kawasan SLG, meningkatkan kenyamanan wisatawan, dan menyediakan ruang publik yang ramah lingkungan.
Di tengah geliat pembangunan kawasan itu, nama “Guyangan” kembali mencuat sebagai bagian penting dari lanskap budaya dan sejarah Kediri. Jalan Guyangan, yang kini menjadi jalur pedestrian dan ruang terbuka hijau, menyimpan kisah-kisah leluhur dan mitos air yang membentuk identitas lokal.
Berikut tiga versi asal-usul nama Guyangan yang beredar di masyarakat.
Mbah Mo Joyo: Pembuka Hutan dan Penjaga Punden
Versi pertama menyebut nama Guyangan berasal dari jejak Mbah Mo Joyo, seorang pelarian bangsawan Majapahit yang membuka hutan belantara di wilayah Paron. Ia mendirikan pemukiman pertama dan menjadi tokoh spiritual yang dihormati. Hingga kini, makamnya dianggap sebagai punden dan menjadi tempat nyekar serta selamatan warga setempat.
Mbah Surodilogo dan Kuda Gagak Ireng
Versi kedua mengisahkan Mbah Surodilogo, tokoh kepercayaan Kadipaten Bojanegara, yang dipercaya menyimpan pusaka dan merawat kuda kesayangan adipati bernama Gagak Ireng. Di sebuah mata air, kuda itu dimandikan secara rutin. Suara guyang-guyang (mandi atau berendam dalam bahasa Jawa) diyakini menjadi asal nama “Guyangan.”
Tradisi guyang kuda ini menjadi simbol hubungan antara manusia, hewan, dan alam dalam budaya Jawa.
Ratu Mursiyah dan Mimpi Banjir Kerajaan Serang
Versi ketiga datang dari legenda Raden Diah Ayu Mursiyah, ratu bijaksana dari Kerajaan Serang. Dalam mimpi ulang tahunnya yang ke-39, sang ratu melihat kerajaannya tenggelam akibat tanggul jebol.
Nama “Guyangan” dikaitkan dengan banjir besar yang menghanyutkan kerajaan, berasal dari kata guyangan yang berarti genangan atau limpahan air. Air dalam cerita ini bukan hanya bencana, tapi simbol pembaruan dan spiritualitas.
Saat ini, Jalan Guyangan bukan hanya jalur transportasi, tetapi juga ruang publik yang sedang ditata ulang oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kediri. Penataan ini membuka peluang baru bagi warga untuk mengenang, merayakan, dan melestarikan warisan budaya Guyangan.
Penulis: Hari Tri Wasono





