Bacaini.ID, KEDIRI – Masyarakat Kediri Jawa Timur pernah mengalami peristiwa sejarah kelam: peristiwa 1965 dan peristiwa pada masa kolonial Belanda.
Hal itu yang memunculkan spekulasi, warga Kediri masih mengalami trauma sejarah. Hal itu yang membuat dinamika politik bergerak lambat. Kediri telah ‘selesai’.
Pada November 1678 Kediri diserbu ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kapten Tack. Terutama di wilayah kota, diobrak-abrik. Terjadi perampokan dan penjarahan besar-besaran.
Tentara VOC Belanda yang bersekutu dengan pasukan Mataram Islam meluluhlantakkan benteng-benteng pertahanan di Kediri. Benteng-benteng yang dibangun oleh Trunojoyo.
Pada saat berlangsungnya penghancuran besar-besaran Kediri, Trunojoyo berhasil meloloskan diri. Bersama dua orang istrinya bergerak ke wilayah selatan.
Bagaimana penyerbuan ekspedisi militer VOC Belanda dan Mataram ke Kediri terjadi? Ini ceritanya.
Baca Juga:
- Cerita Pangreh Praja yang Berwatak Oportunis Sejak Era Kolonial
- Kisah Kelam Kediri, Lahir dari Tumpahan Darah dan Air Mata
- Asal-usul Tahu Kediri yang Berawal dari Sejarah Penaklukan
Kediri diketahui merupakan pusat perlawanan Trunojoyo, bangsawan asal Madura. Kediri menjadi benteng pertahanan melawan Mataram yang bersekutu dengan VOC Belanda.
Pemberontakan yang dikobarkan Trunojoyo berhasil menumbangkan kekuasaan Mataram pada masa Amangkurat I (1646-1677).
Raja Jawa yang terkenal kejam itu dipaksa lari terbirit-birit meninggalkan istana, meminta bantuan VOC dan tak lama kemudian tutup usia di Tegalarum, Tegal Jawa Tengah.
Amangkurat II yang melanjutkan tahta bapaknya (Amangkurat I) menyusun kekuatan bersama VOC Belanda.
Persekutuan keraton Mataram-VOC Belanda pada September 1677 itu dituangkan dalam Perjanjian Jepara. Intinya Mataram bersedia menyerahkan kawasan pesisir Utara kepada VOC Belanda.
Penyerbuan besar-besaran pasukan Mataram dan VOC Belanda ke Kediri berangkat dari pesisir Jepara, Jawa Tengah.
“Pada Senin 5 September 1678, untuk pertama kali dalam sejarah VOC di Jawa sebuah pasukan Belanda bergerak dari Jepara menuju pedalaman Jawa,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Plan awal, ekspedisi militer mengambil rute tercepat. Melalui jalur laut Surabaya dan langsung menuju Kediri yang menjadi pusat pertahanan Trunojoyo.
Rencana itu kemudian diubah Amangkurat II. Ia meminta ekspedisi militer ke Kediri melalui jalur darat. Menyusuri Demak, Grobogan dan Jipang (Sekarang Bojonegoro dan sekitarnya).
Dari Jipang baru ke Kediri dengan melalui jalur Sungai Brantas. Pasukan diminta bergerak dari sisi Barat dan pedalaman Selatan yang saat itu wilayah mancanegara.
Pikiran politis Amangkurat II bekerja. Wilayah-wilayah yang dilintasi ekspedisi militer akan kembali mengakui kedaulatan Mataram.
“Sunan (Amangkurat II) merasa bahwa perjalanan pasukan melalui distrik-distrik pedalaman akan membuat musuh dan para partisan Kajoran akan mengakui kedaulatan Mataram”.
Sepanjang perjalanan menuju Kediri, jumlah pasukan gabungan Jawa dan VOC semakin bertambah besar. Pengaruh pergerakan pasukan dan kampanye membuat banyak pemimpin-pemimpin lokal turut bergabung.
Pada 28 September 1678 ekspedisi militer tiba di perbatasan antara Surakarta dan Madiun. Amangkurat II turut berkuda di samping Anthonio Hurdt, pimpinan pasukan VOC.
Pada 5 Oktober 1678, pasukan Hurdt tiba di wilayah Maospati (sekarang Magetan) menanti kedatangan pasukan Kapten Francois Tack yang bergerak dari Solo dengan empat kompi pasukan.
Kapten Tack memimpin 214 kepala serdadu VOC dan seribu orang prajurit Jawa.
Ekspedisi militer diiringi 800 gerobak sapi bermuatan logistik atau barang-barang yang dikawal dari Surabaya.
Pergerakan semakin mendekati Kediri. Sempat muncul usulan dari komandan prajurit Mataram membakar Kertosono, Kamagetan (Magetan) dan Caruban (Madiun).
Anthonio Hurdt, pimpinan VOC menolak. Ia meminta pasukan gabungan Mataram dan VOC terus bergerak menuju ke Kediri.
Tiba di wilayah Singkal (Saat ini Nganjuk), pasukan berhenti di tepi Sungai Brantas. Berhenti dalam waktu yang cukup lama.
Setelah itu penyerbuan besar-besaran ke Kediri tidak terhindarkan. Kediri dihancurkan. Trunojoyo yang lolos, tak berlangsung lama berhasil ditangkap.
Dengan diiringi dua istrinya, Trunojoyo digelandang menuju Istana Amangkurat II di Surabaya.
Pada 2 Januari 1860 dijatuhi hukuman mati. Terungkap dalam lukisan tahun 1890 yang didokumentasikan KITLV. Amangkurat II menikam dada Trunojoyo dengan keris Kiai Blabar hingga tewas.
Trunojoyo dieksekusi Raja Jawa di depan istri dan perwira VOC Belanda.
Penulis: Solichan Arif





