Bacaini.ID, BLITAR – Watak oportunis di kalangan pegawai pangreh praja (birokrasi pemerintah) sudah dikenal sejak masa kolonial Belanda dan Jepang.
Watak oportunis menjadi cara pegawai pangreh praja mempertahankan karirnya di pemerintahan. Demi jabatan mereka rela menjadi gedibal kekuasaan.
Menjilat atasan dan menginjak bawahan asal kemapanan tidak terganggu menjadi hal yang lazim dilakukan pegawai pangreh praja.
Situasi itu dirasakan pada awal kemerdekaan Indonesia. Kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tidak direspon positif.
Para pegawai pangreh praja: dari kepala desa hingga bupati tidak tergerak mengibarkan bendera merah putih di kantor mereka.
Salah satunya di wilayah eks Karsidenan Bojonegoro dan Tuban Jawa Timur. Para pegawai pangreh praja memilih tetap mengibarkan bendera hinomaru (bendera Jepang).
Mereka juga enggan mengumumkan kabar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 kepada rakyat. Sikap itu membuat para pejuang murka. Para pangreh praja dinilai pro penjajah.
“Para pegawai pangreh praja dinilai warisan pemerintah Belanda, sehingga ada gerakan anti mereka,” demikian dikutip dari buku Bodjonegoro Tempo Doeloe, Berawal dari Senin Wage 24 September 1945.
Baca Juga:
- Profil Sudirman, Usia 30 Tahun Menjadi Panglima Besar
- Cerita Kho Ping Hoo, Penulis Cersil yang Lebih Njawani
- Profil Soeharto: Lahir, Jadi Presiden dan Jemput Gelar Pahlawan
Kebencian para pejuang terhadap sikap oportunis pangreh praja meluas di mana-mana. Di sejumlah daerah di Jawa berubah menjadi gerakan revolusi sosial.
Di Brebes, Pemalang dan Tegal (Eks Karsidenan Pekalongan Jawa Tengah), rakyat yang marah menangkapi para elit pangreh praja.
Mereka diseret dan diadili melalui pengadilan rakyat. Bagi yang melawan, dihabisi. Semua aset yang dimiliki disita dan diduduki oleh rakyat.
Sejumlah pejuang menilai sikap oportunis dan cari aman para pangreh praja hanya menjadi penghalang jalannya revolusi.
“Sikapnya (Pangreh praja) menantikan pengumuman resmi atasan itu membuat kebingungan dan keragu-raguannya menghadapi proklamasi,” demikian dikutip dari buku Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi.
Sikap pangreh praja yang tetap condong ke pemerintah Jepang tidak lepas dari pengaruh Perjanjian Postdam 16 Juli 1945. Jepang menyerahkan Indonesia kepada Belanda.
Para pangreh praja hanya berfikir menyelamatkan jabatannya. Bahkan di Brebes Jawa Tengah, bupati setempat tidak mempercayai kekuatan proklamasi.
Rakyat pun menyindir sikap oportunis itu dengan ungkapan: Jepang menang melu Jepang, Londo menang melu Londo.
Sejumlah pedagang Cina di Brebes bahkan tidak percaya kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Begitu juga dengan orang-orang Arab.
Mereka mendukung pernyataan Bupati Brebes yang menyatakan orang Jawa tidak mampu memerintah dirinya sendiri. Proklamasi kemerdekaan diragukan.
Bahkan tidak sedikit pangreh praja yang menyatakan penolakan. Kecamuk pro kontra proklamasi itu berlangsung hingga tahun 1946.
Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, banyak raja dan kaum ningrat yang tidak mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Banyak raja dan kaum ningrat yang didukung Belanda dan mendapatkan kekayaan darinya, tak mengakui kemerdekaan Indonesia”.
Para pejuang republik mengeraskan sikap. Mereka terus bergerak ke daerah-daerah, menegakkan proklamasi kemerdekaan. Merah putih harus berkibar di mana-mana.
Semua yang kontra proklamasi kemerdekaan dianggap sebagai penghalang revolusi Agustus.
Penulis: Solichan Arif





