Bacaini.ID, KEDIRI – Pada tanggal 30 Oktober 1946 Pemerintah RI resmi mengedarkan ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat pembayaran sah di Indonesia.
Pengesahan ORI pada 30 Oktober 1946 mengacu pada UU No 7 Tahun 1946 dan UU No 19 Tahun 1946. Proses ini berlangsung panjang dan berliku. Sebab sebelumnya di masyarakat masih berlaku uang rupiah Jepang.
Juga uang NICA yang sengaja dicetak oleh Belanda untuk mengacak-acak ekonomi Indonesia. Pada saat sama inflasi tidak terkendali. Keberadaan uang sebagai alat transaksi jadi persoalan serius. Berikut kisahnya.
Pada awal proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 berkumandang, kondisi ekonomi negara Indonesia berantakan. Inflasi sudah melonjak tinggi. Jepang yang menyerah pada Sekutu tak mampu mengendalikan.
Pemerintah Indonesia yang masih berumur belia belum memiliki perangkat untuk menangani persoalan ekonomi yang terjadi. Jalan keluar belum ditemukan.
“Pemerintah RI yang terbentuk sehari setelah proklamasi juga tidak mempunyai sarana dan sumber daya untuk menanganinya,” demikian dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Baca Juga:
- 97 Tahun Sumpah Pemuda: Semaun Umur 21 Tahun Ketua Partai, Kamu?
- Cerita Kho Ping Hoo, Penulis Cersil yang Lebih Njawani
- Profil Soeharto: Lahir, Jadi Presiden dan Jemput Gelar Pahlawan
Di masyarakat masih berlaku uang rupiah buatan Jepang. Peredarannya tidak terkendali.
Sesuai Offiele bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen (1976), Van Der Wal menyebut uang rupiah Jepang yang beredar mencapai 4 miliar.
Sebesar 1,6 miliar di antaranya tersebar di Pulau Jawa. Seiring masuknya NICA yang menguasai bank-bank, jumlah uang rupiah Jepang semakin meningkat.
Uang rupiah Jepang dicetak dan diedarkan dari Percetakan Kolff & Co, Jakarta. Ada 2,5 miliar yang masih tersimpan.
NICA memakai uang Jepang untuk kebutuhannya: pembiayaan operasi militer dan menggaji pegawai yang direkrut dari kalangan pribumi.
NICA memakai tangan orang-orang suruhan untuk mengedarkan uang rupiah Jepang ke seluruh wilayah RI. Pada saat sama uang Jepang dipakai untuk menarik simpati orang-orang republiken.
Sementara karena alasan krisis ekonomi, banyak pegawai sipil dan militer yang tidak digaji.
NICA yang diboncengi Belanda menargetkan kehancuran kedaulatan Indonesia dengan jalan mengacaukan perekonomian.
Di samping uang rupiah Jepang, Belanda juga mengedarkan uang baru yang kemudian di masyarakat dikenal sebagai uang NICA atau uang merah.
Pencetak uang NICA adalah American Banknote Company yang mendapat atensi langsung dari Pemerintah Kerajaan Belanda.
Langkah NICA dianggap melanggar UU De Javasche Bank 1922. Bahwa yang berwenang mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia hanya De Javasche Bank.
Presiden Soekarno melawan. Ia menerbitkan maklumat pada 2-3 Oktober 1945. Intinya mata uang NICA tidak berlaku sebagai alat pembayaran di wilayah RI.
Mata uang yang sah, kata Bung Karno uang kertas Javasche Bank yang dikeluarkan tahun 1925 hingga cetakan tahun 1941.
Juga uang Jepang yang terdiri dari 8 pecahan serta uang logam Pemerintah Hindia Belanda sebelum tahun 1942.
Suara Presiden Soekarno disambut. Rakyat yang di dalamnya para pejuang dan pelajar langsung bergerak. Aksi digelar di mana-mana. Intinya menolak uang NICA. Di sejumlah tempat uang NICA dihancurkan.
Di Jakarta para pedagang menolak pembayaran uang NICA. Mereka juga tidak melayani jual beli dengan orang-orang Belanda.
Di Semarang Jawa Tengah, uang merah atau uang NICA tidak diterima. Begitu juga yang terjadi di Sumatera. Rakyat memboikot uang NICA.
“Di Yogyakarta pada hari dikeluarkannya maklumat itu, para pelajar sekolah menengah secara spontan mengumpulkan mata uang NICA, termasuk di kampung-kampung yang diduga ada peredaran mata uang tersebut, kemudian memusnahkannya,” demikian dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Belanda melihat rakyat Indonesia, utamanya Jawa dan Sumatera lebih menyukai mata uang rupiah Jepang yang telah dinyatakan pemerintahan RI sebagai alat pembayaran yang sah.
Rakyat tak peduli meski nilai mata uang rupiah Jepang terus merosot.
Wakil Presiden Mohammad Hatta melihat mata uang telah dipakai Belanda untuk membuat kekacauan ekonomi di wilayah RI, dan karena itu harus dihentikan.
Bung Hatta dalam rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ke-3 pada 28 Oktober 1945, meminta masalah mata uang segera dipecahkan.
Dikomandani Menteri Keuangan Mr A.A Maramis, pemerintah Indonesia menyiapkan penerbitan ORI (Oeang Republik Indonesia).
Maramis pada 7 November 1945 membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Oeang RI.
Percetakan G. Kolff Jakarta dan Percetakan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur, diusulkan sebagai tempat mencetak ORI.
Juga muncul usulan di Surabaya dan Yogyakarta sebagai altenatif. Pemerintah RI memutuskan percetakan ORI dilakukan di Jakarta.
Gambar litografi uang rakyat Indonesia pertama dibuat di Percetakan De Unie oleh pelukis Abdulsalam dan Soerono. Produksi ORI dimulai Januari 1946.
“Karena percetakan Kolff pada waktu itu masih dikuasai Belanda, maka proses offsetnya untuk pertama kali dilakukan oleh Percetakan RI Salemba, Jakarta sebuah percetakan di bawah Kementerian Penerangan”.
Proses mencetak ORI di Jakarta tidak lama. Kegiatan kemudian digeser ke Yogyakarta menyusul pemindahan ibu kota. Percetakan ORI juga dilakukan di Surakarta, Malang dan Ponorogo, Jawa Timur.
Pemerintah RI sengaja melibatkan percetakan swasta modern. ORI yang pertama kali ditandatangani pada November 1945 di Jakarta adalah ORI penerbitan emisi Jakarta.
Pada 30 Oktober 1946 ORI resmi beredar sebagai alat pembayaran sah Pemerintah Republik Indonesia.
Penulis: Solichan Arif





