Bacaini.ID, BLITAR – Kegagalan pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin oleh Shodanco Soeprijadi jadi pelajaran penting. Terutama bagi Soedirman atau Sudirman.
Kegagalan pemberontakan Soeprijadi kian menyulitkan gerakan. Jepang melakukan bersih-bersih. 55 perwira PETA Blitar diseret ke Jakarta.
Mereka diadili di pengadilan militer dan semua dinyatakan bersalah. Militer Jepang memancung kepala 6 perwira PETA di kawasan Ancol, Jakarta.
Jepang juga melakukan pembersihan di tempat-tempat lain. Saat itu awal bulan April 1945.
Baca Juga:
- Profil Soeharto: Lahir, Jadi Presiden dan Jemput Gelar Pahlawan
- Cerita Kho Ping Hoo, Penulis Cersil yang Lebih Njawani
- Raden Oerip Soemohardjo, Arsitek Sunyi Tentara Republik
Sudirman belum lama diangkat sebagai Daidancho (Komandan Batalyon) di wilayah Kroya (Tegal). Ia mendengar rencana pemberontakan PETA Cilacap.
Sudirman di depan teman-temannya meminta untuk tidak melanjutkan pemberontakan. Ia tidak ingin peristiwa kegagalan di Blitar terulang.
Bagi Sudirman lebih baik melalui proses yang wajar dan aman ketimbang melesat cepat namun gagal.
“Saya harap adik-adik tidak akan kehilangan tongkat dua kali,” kata Sudirman seperti dikutip dari buku Perjalanan Bersahaja Jendral Sudirman Minggu (26/10/2025).
Namun upaya Sudirman gagal. Pada 21 April 1945 PETA Cilacap memberontak. Dipimpin Budanco Kusaeri pasukan PETA menyerbu gudang senjata Jepang.
Mereka kemudian menyerang Jepang dari kawasan Gunung Srandil. Jepang memerintahkan Daidancho Kroya Sudirman mendekati para pemberontak.
Sudirman meminta pasukan PETA menghentikan baku tembak dan dipatuhi. Namun Jepang ingkar janji. Pada 25 April 1945 Kusaeri ditangkap.
Pada 10 Mei 1945 Kusaeri digelandang ke Jakarta dan dijatuhi hukuman mati. Sebanyak 18 rekan Kusaeri, termasuk Kiai Bujel dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Pada Proklamasi 17 Agustus 1945 Sudirman mengumpulkan 4 Daidan Karsidenan Banyumas di asrama Purwokerto.
Wejangan seputar proklamasi dan perkembangan politik diberikan. Para bekas Cudancho Shodanco kemudian disebar ke 72 kecamatan di karsidenan Banyumas.
“Mereka ditugaskan membentuk dan menyusun kekuatan bekas tentara PETA, Heiho dan KNIL di tiap kecamatan, paling sedikit satu regu,” demikian dikutip dari buku Perjalanan Bersahaja Jendral Sudirman.
Pada awal proklamasi kemerdekaan pasukan bentukan Sudirman di Karsidenan Banyumas berhasil menyita amunisi Jepang dalam jumlah besar.
Di antaranya 5.000 pucuk senapan, 700 pucuk pistol, 500 pucuk sten atau pm, 150 pucuk senapan mesin ringan, dan 80 pucuk senapan mesin M23.
Kemudian 4 pucuk senapan mesin berat, 2 pucuk meriam lapangan, meriam gunung, dan meriam pantai. Kemudian juga 4 gudang peluru, 1 gudang zeni, dan 1 gudang alat-alat perhubungan.
Juga 13 unit kendaraan sedan, 60 unit truk, 4 bren-carrier, dan juga peralatan kecil, seperti teropong, pedang dan sepeda motor.
Sudirman yang berpangkat kolonel diangkat Panglima Divisi V dengan wilayah karsidenan Banyumas dan Kedu.
Dengan amunisi rampasan perang itu ia mengatakan Indonesia dapat menyusun satu resimen pasukan tempur.
Sudirman memimpin langsung pertempuran melawan Sekutu di Magelang dan Ambarawa. Sekutu di Semarang berhasil diusir paksa.
Pada 12 November 1945, di usia 30 tahun Sudirman yang berlatar PETA terpilih sebagai Panglima Besar, mengalahkan Letnan Jenderal Urip Sumohardjo yang berlatar KNIL.
“Ia adalah seorang yang mampu menggabungkan dalam dirinya sendiri keprihatinan yang tenang dengan kesalehan yang tulus serta mawas diri,” demikian dikutip dari buku Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.
Profil Panglima Besar Sudirman
- Lahir: 24 Januari 1916 di Bodaskarangjati Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah
- Wafat: 29 Januari 1950 di Magelang Jawa Tengah
- Makam: Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara
Penulis: Solichan Arif





