Empat dekade setelah Presiden Soeharto membekukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena korupsi merajalela, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali menggebrak institusi yang sama dengan membuka kanal aduan publik. Sejarah seperti berulang, namun kali ini dengan pendekatan yang berbeda.
Bacaini.ID, JAKARTA – Pada 15 Oktober 2025, Menkeu Purbaya meluncurkan layanan “Lapor Pak Purbaya” melalui WhatsApp nomor 0822-4040-6600. Dalam dua hari pertama, lebih dari 15.933 pesan membanjiri kanal tersebut, dengan 13.285 di antaranya berupa laporan serius tentang oknum Bea Cukai yang bermasalah.
“Pegawai Bea Cukai nongkrong di Starbucks sambil membicarakan bisnis pribadi, bahkan membahas kiriman mobil baru,” baca Purbaya dengan nada kesal saat mengutip salah satu aduan. Ia mengancam akan memecat pegawai yang masih melakukan hal serupa.
Aduan lain menyoroti maraknya rokok ilegal tanpa cukai di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, di mana aparat lebih sering merazia warung kecil ketimbang menindak distributor besar. Ada pula laporan praktik premanisme dan pemeriksaan berlarut-larut tanpa penjelasan jelas.
Jejak Kelam Era Soeharto
Gebrakan Purbaya mengingatkan pada peristiwa bersejarah 40 tahun silam. Pada 1985, Presiden Soeharto membekukan seluruh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985. Ribuan pegawai dirumahkan meski tetap menerima gaji. Langkah ini dilakukan akibat maraknya pungutan liar, penyelundupan, dan praktik “uang damai” yang merajalela.
Tugas Bea Cukai kemudian dialihkan kepada PT Suisse Generale Surveillance, perusahaan Swiss, dan PT Surveyor Indonesia. Pembekuan berlangsung sekitar 10 tahun hingga kewenangan dikembalikan melalui UU No. 10 Tahun 1995.
Sebelum pembekuan, Soeharto bahkan menunjuk beberapa perwira TNI untuk memimpin Bea Cukai sebagai bagian dari kebijakan dwifungsi ABRI. Mayjen Slamet Danoesoedirdjo (1972-1973), Wahono yang berlatar belakang PETA (1981-1983), dan Jenderal Bambang Soejarto (1983-1985) pernah menjabat Dirjen Bea Cukai dengan misi memberantas penyelewengan.
Reformasi Tanpa Pembekuan
Berbeda dengan era Soeharto yang menggunakan pendekatan “shock therapy” dengan pembekuan total, Purbaya memilih jalur reformasi bertahap namun tegas. Selain membuka kanal aduan, ia melakukan inspeksi mendadak ke Pelabuhan Tanjung Priok dan Kudus, serta membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Barang Ilegal yang aktif sejak Juli 2025.
“Tidak ada toleransi bagi pegawai yang merusak integritas lembaga,” tegas Purbaya. Sebelumnya, Dirjen Pajak telah memecat 26 pegawai yang menerima uang di luar haknya sejak Mei 2025.
Pendekatan Purbaya mencerminkan evolusi tata kelola pemerintahan, dari otoritarian menuju partisipatif. Jika Soeharto mengandalkan kekuatan militer dan pembekuan institusi, Purbaya memanfaatkan teknologi digital dan partisipasi publik untuk mengawasi birokrasi.
Tantangan Struktural yang Sama
Meski berbeda pendekatan, tantangan yang dihadapi Bea Cukai tetap serupa: korupsi, pungutan liar, dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Bea Cukai bukan sekadar soal individu nakal, melainkan persoalan struktural yang memerlukan reformasi menyeluruh.
Kanal “Lapor Pak Purbaya” menjadi eksperimen menarik dalam transparansi birokrasi. Dengan membuka akses langsung ke puncak kekuasaan, masyarakat memiliki harapan baru bahwa laporan mereka akan ditindaklanjuti, bukan sekadar menjadi arsip.
Keberhasilan gebrakan Purbaya akan diuji dalam implementasi tindak lanjut. Apakah kanal aduan ini akan menjadi solusi jangka panjang atau sekadar pemadam kebakaran sesaat, seperti yang pernah terjadi di masa lalu?
Yang pasti, sejarah Bea Cukai Indonesia kembali mencatat babak baru, dari pembekuan era Orde Baru hingga digitalisasi pengawasan era Reformasi. Waktu akan membuktikan apakah kali ini reformasi benar-benar berhasil mengubah kultur institusi yang telah bermasalah selama puluhan tahun.
Penulis : Danny Wibisono