Nahdlatul Ulama (NU) bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah gerakan peradaban, sebuah revolusi spiritual yang lahir dari rahim penderitaan bangsa dan kegelisahan iman.
NU tidak dilahirkan di ruang rapat kaum elit, tapi di surau-surau para kiai desa tempat di mana Islam tidak hanya dihafal, tapi dihidupi.
NU berdiri bukan untuk menjaga status quo, melainkan untuk mengguncang tatanan lama yang menindas umat dalam bentuk penjajahan, kebodohan, dan kemiskinan.
Sejak 1926, NU mengumandangkan satu pesan yang menggelegar di jagat Nusantara: Islam tidak boleh menjadi alat penindasan, Islam harus menjadi kekuatan pembebasan.
Inilah Islam yang revolusioner, yakni Islam yang berpihak pada rakyat kecil, Islam yang menolak tunduk pada kekuasaan zalim, Islam yang menolak diseret menjadi proyek politik eksklusif.
NU tidak pernah berdiri di menara gading, melainkan di tengah lumpur kehidupan bangsa. Ia hadir bersama petani, nelayan, buruh, dan santri. Ia tidak bicara surga sambil melupakan bumi.
NU mengajarkan bahwa berjuang di sawah, di pabrik, di ruang kelas, bahkan di parlemen adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
NU menolak Islam yang kaku dan beku, yang hanya pandai mengutip ayat tanpa menanam nilai. NU menolak Arabisasi yang mematikan kebudayaan.
Karena bagi NU, Islam Nusantara bukan kompromi, tapi strategi peradaban. Sebuah jalan tengah yang membebaskan: Islam yang membumi tanpa kehilangan langitnya.
Ketika dunia Islam terpecah antara liberalisme yang kehilangan ruh dan fundamentalisme yang kehilangan akal, NU berdiri tegak membawa panji tawassuth, tasamuh, dan ta’addul moderasi yang bukan netralitas, tapi keberpihakan pada kemanusiaan.
Inilah revolusi yang sesungguhnya, revolusi kesadaran. Revolusi yang mengubah cara berpikir umat, dari dogma menuju daya cipta, dari kebencian menuju kasih sayang, dari kepasrahan menuju keberanian.
NU tidak haus kekuasaan, tapi ia tahu, kekuasaan harus dikuasai agar tidak disalahgunakan. NU tidak menolak modernitas, tapi ia menolak diperbudak oleh modernitas.
Inilah keseimbangan yang hanya dimiliki oleh Islam yang matang, Islam yang telah melewati ujian sejarah dan tetap tegak dengan kepala terangkat.
Nahdlatul Ulama adalah garda depan Islam progresif, benteng terakhir bangsa dari dua bahaya ekstremisme agama dan kapitalisme yang menindas.
Di tangan NU, agama tidak menjadi candu, melainkan daya gerak untuk perubahan.
Maka bagi kami, menjadi Nahdliyin bukan sekadar identitas ia adalah pernyataan sikap ideologis berpihak pada rakyat, pada keadilan, pada kemanusiaan, dan pada cita-cita revolusi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Selama masih ada ketimpangan, selama masih ada penindasan, selama masih ada kebodohan maka tugas revolusioner NU belum selesai.
NU akan terus bergerak. Dengan kitab di tangan kanan dan cangkul di tangan kiri. Dengan doa di bibir dan tekad di dada.
Karena Islam yang sejati adalah Islam yang membebaskan. Dan itulah Islam Nahdlatul Ulama.
Penulis: Alfat Maulana, S.IP, M.Ikom
*) Wakil Ketua GP Ansor Jakarta Timur