Bacaini.ID, KEDIRI – Oktober 1965 menjadi titik balik sejarah Indonesia yang penuh luka dan teka-teki. Di tengah malam yang mencekam, enam jenderal Angkatan Darat diculik dan dibunuh oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S).
Peristiwa ini bukan hanya mengguncang militer, tetapi juga membuka jalan bagi naiknya seorang jenderal yang kelak memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, yakni Jenderal Soeharto.
Namun, di balik narasi resmi Orde Baru yang menyebut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang tunggal, muncul pertanyaan yang tak kunjung padam: apakah Soeharto hanya penumpas atau juga pemain dalam drama kelam ini?
Andrianto, Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, dalam jurnal berjudul Kontroversi Keterlibatan Soeharto Dalam Penumpasan G30S/PKI 1965 menulis sepak terjang Soeharto dalam peristiwa tersebut.
Saat peristiwa terjadi, Soeharto menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Begitu mendengar kabar tewasnya Jenderal Ahmad Yani, ia segera mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan untuk merebut kembali fasilitas vital seperti Radio Republik Indonesia (RRI) dan markas Angkatan Darat.
Dalam hitungan hari, Soeharto memimpin operasi penumpasan terhadap kelompok yang dianggap terlibat dalam G30S. PKI dituduh sebagai otak di balik gerakan tersebut. Penangkapan dan eksekusi terhadap simpatisan PKI menyebar ke seluruh penjuru negeri, terutama di Jawa dan Bali.
Supersemar dan Konsolidasi Kekuasaan
Maret 1966 menjadi momen krusial. Presiden Soekarno menyerahkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Soeharto, memberinya wewenang untuk memulihkan keamanan.
Dalam waktu singkat, Soeharto membubarkan PKI dan mengambil alih kekuasaan secara bertahap. Tahun 1967, ia diangkat sebagai Pejabat Presiden, dan setahun kemudian, resmi menjadi Presiden Indonesia.
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa Soeharto mungkin telah mengetahui rencana G30S sebelumnya dan membiarkannya terjadi demi kepentingan politik. Ada pula dugaan bahwa ia memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan Soekarno dan mengamankan posisinya.
Narasi resmi Orde Baru menyebut PKI sebagai dalang tunggal. Namun, penelitian pasca-reformasi membuka kemungkinan keterlibatan faksi militer lain, bahkan campur tangan asing seperti Amerika Serikat dan Inggris yang khawatir dengan pengaruh komunis di Asia Tenggara.
Menariknya, Soeharto tidak menjadi target penculikan G30S, meski jabatannya sebagai Pangkostrad sangat strategis. Hal ini memunculkan spekulasi: apakah para pelaku sengaja melewatkannya? Atau ada komunikasi tersembunyi di balik layar?
Letnan Kolonel Untung, pemimpin G30S, menyatakan bahwa gerakan mereka bertujuan mencegah kudeta oleh “Dewan Jenderal” terhadap Presiden Soekarno. Namun, operasi yang semula dirancang sebagai penjemputan berubah menjadi tragedi berdarah. Soeharto, yang tidak termasuk dalam daftar target, justru tampil sebagai penyelamat dan pemimpin baru.
Penumpasan G30S/PKI meninggalkan luka mendalam. Ribuan orang ditangkap, diinterogasi, dan dibunuh tanpa proses hukum. Banyak di antaranya bukan anggota PKI, melainkan korban fitnah atau konflik lokal. Hingga kini, pembantaian massal 1965–1966 masih menjadi bayang-bayang sejarah yang belum sepenuhnya diungkap.
Soeharto membangun Orde Baru dengan fondasi stabilitas dan pembangunan, tetapi juga dengan kontrol ketat terhadap narasi sejarah. Andrianto mengajak pembaca untuk melihat ulang peran Soeharto, bukan sekadar sebagai penumpas, tetapi sebagai aktor politik yang mungkin memainkan peran lebih kompleks dari yang selama ini diajarkan di sekolah.
Penulis: Hari Tri Wasono