Bacaini.ID, KEDIRI – Perburuan ikan tuna dan hiu sudah dilakukan masyarakat di pulau-pulau kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia sejak lama.
Perburuan tuna dan hiu dengan ketrampilan maritim yang canggih sudah berlangsung sekitar 40.000 tahun silam.
Aktivitas perburuan tuna dan hiu itu jadi salah satu bukti nenek moyang masyarakat Nusantara memang seorang pelaut.
Mereka berlayar ke laut dalam untuk menangkap ikan besar seperti tuna dan hiu, lalu kembali dengan hasil tangkapan yang luar biasa.
Di era tersebut, perahu dan tali terbuat dari bahan organik yang mudah rusak ‘dilumat’ alam, bukti langsung jarang ditemukan.
Namun, tulang ikan, alat batu, dan bekas pemakaian mikroskopis di alat-alat tersebut memberi petunjuk penting.
Dikutip dari Earth, ilmuwan menyebut metode penemuan jejak aktivitas masa lalu ini sebagai ‘traceologi’, suatu cara mempelajari jejak pemakaian alat untuk memahami teknologi kuno.
Penelitian terbaru yang dilakukan Riczar Fuentes dari Universitas Ateneo de Manila menunjukkan bahwa serat tanaman kuno kemungkinan dipakai untuk membuat tali, jaring, dan ikatan perahu.
Ini membuktikan bahwa masyarakat pada masa itu sudah memahami teknik membuat perahu dan alat tangkap ikan, bukan sekadar mengandalkan keberuntungan.
Temuan dari situs Jerimalai di Timor-Leste memperkuat bukti ini.
Di sana, arkeolog menemukan 38.687 tulang ikan dari hampir 3.000 ekor, termasuk spesies laut dalam, serta kail pancing tertua yang terbuat dari kerang berusia 23.000–16.000 tahun.
Ini menunjukkan aktivitas penangkapan ikan yang terencana dan berulang.
Tak hanya di Timor-Leste, penelitian di Mindoro, Filipina, juga menunjukkan bukti penangkapan ikan yang sudah berlangsung setidaknya 30.000 tahun.
Pola ini membuktikan adanya pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi, melibatkan pelatihan, kerja sama, dan teknologi yang terus berkembang.
Migrasi antar pulau juga semakin jelas terlihat. Pergerakan obsidian di antara pulau-pulau di Indonesia bagian tenggara dan Timor-Leste menunjukkan adanya kontak yang berkelanjutan.
Pola ini sesuai dengan zona interaksi Pleistosen akhir hingga Holosen awal, bukan pergeseran yang terjadi sekali saja.
Pergerakan batu obsidian antar pulau menunjukkan adanya jalur perdagangan dan pertukaran pengetahuan.
Batu tentu tidak bergerak sendiri, ini berarti manusia sudah merencanakan pelayaran.
Juga memahami musim, serta menguasai navigasi laut jauh sebelum yang diperkirakan sebelumnya.
Gabungan bukti dari tulang ikan, kail, dan alat batu menunjukkan bahwa masyarakat Asia Tenggara ribuan tahun lalu sudah memiliki budaya maritim yang maju dan terorganisir.
Mereka bukan sekadar penumpang arus laut, melainkan pelaut terampil yang memahami laut.
Kemudian juga mengembangkan teknologi, dan membangun jaringan sosial yang memungkinkan mereka bertahan dan berkembang di wilayah kepulauan.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif