Bacaini.ID, JAKARTA – Fenomena keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi bukan hal baru di Indonesia. Jika dicermati, siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sering terlihat lebih dominan turun ke jalan dibandingkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Termasuk dalam demonstrasi menuntut kebijakan DPR terkait tunjangan maupun isu sosial-ekonomi lainnya.
Fenomena ini dapat dipahami dari berbagai aspek: orientasi pendidikan, latar belakang sosial-ekonomi, hingga pembentukan identitas kolektif.
Pertama, perbedaan mendasar antara SMA dan SMK terletak pada orientasi pendidikan. SMA lebih menekankan pembelajaran akademik yang mempersiapkan siswa melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Sementara pelajar SMK berfokus pada keterampilan vokasional yang menyiapkan lulusan langsung masuk ke dunia kerja. Konsekuensinya, anak SMK lebih cepat bersentuhan dengan realitas sosial-ekonomi, seperti masalah gaji, magang, dan prospek kerja.
Kondisi ini membentuk kesadaran sosial lebih kuat terhadap isu-isu ketenagakerjaan dan kesejahteraan, termasuk tuntutan terkait kebijakan tunjangan DPR yang dianggap kontras dengan kondisi rakyat kecil.
Kedua, dari segi latar belakang sosial-ekonomi, sebagian besar siswa SMK berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah. Harapan orang tua agar anak segera bekerja setelah lulus membuat mereka sensitif terhadap isu kesejahteraan masyarakat. Ketika muncul wacana tunjangan DPR yang tinggi sementara lapangan kerja masih sulit diakses, siswa SMK lebih mudah merasa terdorong untuk menyuarakan ketidakadilan melalui demonstrasi.
Ketiga, lingkungan belajar di SMK turut memperkuat solidaritas kelompok. Aktivitas bengkel, workshop, dan praktik lapangan membentuk ikatan sosial yang erat. Solidaritas ini memudahkan mobilisasi kolektif ketika ada seruan aksi.
Berbeda dengan siswa SMA yang lebih diarahkan pada pencapaian akademis individual, anak SMK terbiasa bekerja dalam tim, sehingga partisipasi dalam aksi massa lebih mudah terbangun.
Selain itu, jaringan organisasi juga berperan penting. Banyak siswa SMK yang saat magang terhubung dengan komunitas buruh, serikat pekerja, atau LSM yang kerap menggelar aksi protes. Hal ini membuat mereka memiliki saluran yang lebih nyata untuk bergabung dalam demonstrasi. Ditambah dengan karakter remaja SMK yang lebih ekspresif dan praktis, demonstrasi menjadi medium yang sesuai untuk menyalurkan aspirasi.
Sehingga keterlibatan siswa SMK dalam aksi demonstrasi, termasuk tuntutan tunjangan DPR, bukanlah sekadar soal kenakalan remaja. Ini merupakan hasil dari interaksi antara faktor pendidikan, ekonomi, solidaritas, dan jaringan sosial. Sehingga mereka mudah merasa terpanggil untuk turun ke jalan melihat realitas sosial-ekonomi karena dekat dengan persoalan rakyat.
Penulis : Danny Wibisono