Unjuk rasa masyarakat Pati yang menuntut mundurnya bupati bukan sekadar reaksi terhadap kebijakan kenaikan pajak. Narasi spanduk dan orasi yang disampaikan warga menyimpan kekecewaan atas gaya komunikasi pemimpin yang dinilai arogan, tidak partisipatif, dan minim empati.
Dalam ilmu komunikasi, gaya komunikasi pemimpin bukan hanya soal retorika, tetapi juga cerminan etika dan relasi kuasa. Ketika seorang kepala daerah memilih gaya pengendali yang dominan, instruktif, dan tertutup terhadap kritik, ia bukan hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mempersempit ruang dialog yang seharusnya menjadi fondasi demokrasi lokal.
Teori interaksionisme simbolik mengajarkan bahwa makna dibentuk melalui simbol dan interaksi. Ketika pemimpin menggunakan bahasa yang merendahkan atau gestur yang menunjukkan superioritas, masyarakat menafsirkan itu sebagai bentuk pelecehan terhadap martabat warga. Gaya ini juga bisa memicu resistensi publik karena dianggap tidak partisipatif dan tidak menghargai aspirasi warga.
Studi oleh Aminulloh et al. menunjukkan bahwa perilaku arogan aparat pemerintah berdampak signifikan terhadap sikap apatis dan ketidakpercayaan masyarakat. Komunikasi yang tidak etis, seperti meremehkan kritik atau menggunakan bahasa yang merendahkan, dapat memperburuk hubungan antara pemerintah dan publik.
Jika kebijakan kenaikan pajak disampaikan dengan gaya komunikasi yang tidak empatik, tidak transparan, dan cenderung menyalahkan masyarakat, maka resistensi bukan hanya terhadap kebijakan, tapi terhadap figur pemimpin itu sendiri.
Maka tak heran, demonstrasi menjadi kanal ekspresi kolektif untuk menuntut perubahan, bukan hanya kebijakan, tetapi juga sikap. Sikap seorang pemimpin yang dengan terbuka mengancam dan menantang rakyatnya sendiri. Aksi puluhan ribu masyarakat Pati yang terjadi Rabu, 13 Agustus 2025 adalah gambaran ketegangan komunikasi antara pemerintah dan publik, bukan semata-mata soal substansi kebijakan.
Eskalasi makin tinggi ketika framing media terhadap gaya komunikasi pemimpin yang arogan turut memperkuat persepsi publik terhadap Bupati Pati. Dalam era digital, satu potongan video atau kutipan kontroversial bisa menjadi pemantik kemarahan massal.
Di sinilah pentingnya komunikasi etis dan transparan, bukan sekadar menghindari krisis, tetapi membangun kepercayaan jangka panjang.
Pemimpin publik bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga komunikator utama dalam sistem demokrasi. Ketika komunikasi kehilangan empati, maka kebijakan sebaik apapun akan kehilangan legitimasi. Pati hari ini memberi pelajaran penting, bahwa gaya bicara bisa menentukan nasib seorang pemimpin.
Penulis: Hari Tri Wasono*
*)Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia