Bacaini.ID, KEDIRI – Matahari pagi baru saja mengintip dari balik puncak Gunung Rinjani ketika Benedikt Emmenegger, pendaki asal Swiss berusia 46 tahun, merasakan batu yang dipijaknya bergeser.
Dalam hitungan detik, tubuhnya meluncur ke bawah, membentur bebatuan tajam di jalur menuju Danau Segara Anak.
Suara teriak kesakitannya memecah keheningan pagi di gunung tertinggi kedua di Indonesia itu.
“Saya pikir ini akhir dari segalanya,” kenang Benedikt dengan suara bergetar saat ditemui di ruang perawatan Rumah Sakit Internasional Bali.
Tulang kakinya yang patah kini terbungkus gips putih, kontras dengan kulit cokelatnya yang terpanggang matahari.
Kecelakaan yang dialami Benedikt pada Rabu (16/7) lalu jadi pengingat akan bahaya yang mengintai di balik keindahan Gunung Rinjani.
Namun, berbeda dengan tragedi yang menimpa Juliana Marins, pendaki asal Brazil yang meninggal dunia setelah terjatuh ke dalam jurang sedalam 400 meter pada Juni lalu.
Benedikt selamat berkat respons cepat tim penyelamat dan evakuasi udara yang tepat waktu.
“Kami tidak ingin kejadian Juliana terulang,” ujar Yarman, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) dengan wajah serius.
“Kematian Juliana menjadi pelajaran berharga dan telah menarik perhatian dunia. Kami tidak bisa membiarkan hal serupa terjadi lagi,” tambahnya.
Delapan personel tim penyelamat, termasuk dua tenaga medis, segera diterjunkan begitu laporan kecelakaan Benedikt diterima.
Mereka harus berjuang melawan medan berbatu dan cuaca yang berubah-ubah untuk mencapai lokasi korban.
Setelah memberikan pertolongan pertama, tim memutuskan evakuasi udara jadi pilihan terbaik mengingat kondisi Benedikt yang kritis.
Helikopter SAR yang mengudara pada pukul 17.00 WITA itu bukan sekadar membawa seorang pendaki yang terluka.
Ia membawa harapan baru bagi pariwisata petualangan Indonesia yang sempat tercoreng akibat tragedi Juliana.
“Ini bukan hanya tentang menyelamatkan satu nyawa,” kata Kolonel Udara Pratama, pilot helikopter yang mengevakuasi Benedikt.
“Ini tentang menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia mampu menangani situasi darurat di wilayah-wilayah terpencil dengan standar internasional,” lanjutnya.
Di balik operasi penyelamatan yang sukses ini, tersimpan kerja keras dan koordinasi yang apik antar berbagai lembaga.
Basarnas, TNI, Polri, BTNGR, dan pemerintah daerah bersatu padu menjalankan protokol penyelamatan yang telah diperbarui pasca tragedi Juliana.
“Sudah menjadi tanggung jawab semua stakeholder, khususnya lembaga yang menangani rescue, tidak hanya menjalankan tugas tetapi bersama-sama dengan instansi lainnya menjaga nama baik Indonesia demi kepercayaan dunia dan menjaga hidupnya pariwisata Indonesia,” tegas Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam keterangannya.
Pasca tragedi Juliana, pemerintah Indonesia telah menerapkan sejumlah protokol keselamatan baru di Gunung Rinjani.
Termasuk pemasangan peralatan komunikasi canggih di pos-pos transit, sistem pelacakan RFID untuk memantau lokasi pendaki secara real-time, dan pelatihan keselamatan wajib bagi semua pemandu gunung.
Benedikt, yang kini dalam masa pemulihan, mengaku terkesan dengan profesionalisme tim penyelamat Indonesia.
“Mereka tidak hanya menyelamatkan nyawa saya, tetapi juga mengembalikan kepercayaan saya pada pariwisata petualangan di negara ini,” tuturnya sambil tersenyum.
Sementara di luar jendela rumah sakit, matahari Bali mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga di langit.
Jauh di sana, Gunung Rinjani berdiri kokoh, menantang namun kini lebih aman berkat pelajaran berharga dan tekad kuat untuk menjaga keselamatan setiap pendaki yang berani menaklukkannya.
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Solichan Arif