Bacaini.ID, KEDIRI – Languishing jadi istilah yang sering muncul dalam obrolan ahli psikologi, pekerja kantoran, dan media sosial.
Languishing muncul di tengah makin tumbuhnya kesadaran pada kesehatan mental.
Meski terdengar asing bagi sebagian orang, kondisi ini sebenarnya sangat umum, terutama setelah pandemi COVID-19.
Languishing digambarkan sebagai ‘the neglected middle child of mental health’ atau anak tengah yang terabaikan dari kesehatan mental.
Adam Grant, seorang psikolog dan penulis dari Wharton School yang menyebutnya demikian.
Languishing dan ciri-cirinya
Languishing merupakan keadaan mental di mana seseorang tidak merasa depresi, tetapi juga tidak merasa bahagia atau produktif.
Mereka tidak sedang berjuang secara klinis, tapi juga tidak berkembang. Hidup terasa datar, kosong, dan tanpa semangat.
Ciri-ciri languishing meliputi:
• Sulit fokus atau mengalami ‘mental fog’
• Kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang biasanya disukai
• Merasa hampa, stuck, atau hidup dalam mode autopilot.
Dalam wawancaranya dengan The New York Times, Adam Grant menyebut languishing sebagai ‘musuh kebahagiaan’.
Ia juga menyatakan kondisi itu sangat umum terjadi pascapandemi, ketika banyak orang merasa kelelahan emosional tanpa alasan yang jelas.
Berdasarkan studi yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Psychiatry, lebih dari 1 dari 3 responden di negara-negara dengan lockdown berkepanjangan saat pandemi, menunjukkan gejala mental health yang termasuk dalam spektrum languishing.
Sementara itu, survei dari Mental Health America (MHA) menemukan bahwa sekitar 60% orang dewasa di AS yang tidak mengalami gangguan mental berat justru mengaku merasa ‘flat’ atau ’emotionally numb’.
Fenomena ini juga tercermin di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023 mencatat peningkatan signifikan dalam keluhan burnout, kelelahan emosional, dan penurunan motivasi kerja pascapandemi.
Indikator yang selaras dengan gejala languishing meskipun belum mendapat sebutan nama.
Bahaya languishing
Masalah terbesar dari languishing adalah sifatnya yang tidak kentara.
Karena tidak seekstrem depresi, banyak orang mengabaikannya.
Namun, menurut riset dari American Psychological Association (APA), seseorang yang mengalami languishing secara terus-menerus memiliki risiko 5 kali lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan atau depresi dalam 12 bulan berikutnya.
Harvard Business Review mengatakan, di tempat kerja, karyawan yang mengalami languishing menunjukkan penurunan produktivitas hingga 40%.
Mereka hadir secara fisik, tetapi tidak secara emosional atau mental, fenomena ini sering disebut ‘presenteeism’.
Cara mengatasi languishing
Ada beberapa langkah kecil berbasis penelitian yang bisa membantu kondisi ini:
• Flow Activities
Melakukan aktivitas yang membuat kita ‘tenggelam’ dalam momen. Seperti menulis, menggambar, berkebun, atau berolahraga, dapat membantu otak keluar dari mode autopilot.
Riset menunjukkan bahwa flow activities dapat meningkatkan mood dan motivasi.
• Mengatur batas digital
Doomscrolling dan notifikasi nonstop memperparah perasaan hampa.
Coba atur waktu untuk detoks digital, termasuk menghindari media sosial saat bangun tidur atau sebelum tidur.
• Memberi nama pada emosi
Hanya dengan memberi nama pada perasaan, seperti “Saya sedang languishing”, bisa membantu otak memprosesnya dengan lebih baik.
Ini disebut ‘labeling emotion’, dan terbukti secara neurologis mengurangi aktivitas amigdala, pusat stres di otak.
• Koneksi sosial ringan
Bicara dengan teman, bahkan percakapan ringan, bisa membangkitkan perasaan koneksi dan makna. Isolasi sosial diam-diam sering jadi penyebab munculnya languishing.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif