Bacaini.ID, BLITAR – Warna kuahnya hitam, pekat dan kental. Lebih pekat dari rawon yang umum dijajakan di Kota Blitar.
Kuah hitam pekat adalah khas rawon gagrak brang wetan. Lazimnya banyak dijumpai di wilayah Malang, Surabaya, Jombang, Mojokerto, hingga Probolinggo.
Warna hitam pekat dipengaruhi oleh keluak atau buah kepayang, bumbu utama dalam meracik kuliner rawon.
Selain menghitamkan, keluak juga memberi karakter rasa kuah yang khas untuk sup daging khas Jawa Timur itu.
Sementara rawon dengan warna kuah lebih cerah umumnya banyak dijumpai di mataraman: wilayah eks karesidenan Kediri, termasuk di dalamnya Blitar.
Begitu mencicip rasanya, Mak Ti tak bisa ‘berkelit’ lagi. Gurih berempah dan tidak manis. Fix rawon gagrak brang wetan.
Pada saat masih muda, Mak Ti mengaku pernah bertempat tinggal cukup lama di Surabaya.
Budaya kuliner brang wetan sepertinya banyak mempengaruhi rahasia dapurnya.
Itu sebabnya ia juga selalu memanggil perempuan dengan sebutan ‘ning’, panggilan masyarakat Surabaya kepada perempuan muda.
“Iya, pernah tinggal lumayan lama di Surabaya,” tuturnya.
Maknyus dan murah
Benar-benar rawon khas Jawa Timur. Rasa gurihnya nendang. Perpaduan bumbu keluak dan kaldu daging dengan kesedapan yang pas.
Tidak manis atau sedikit manis sebagaimana rawon gaya mataraman. Potongan daging sapinya juga melimpah, dan empuk.
Daging setengah kering yang terapung di dalam kuah rawon hitam pekat, kental dan panas itu begitu menggugah selera.
Sebelum disuguhkan, Mak Ti menaburkan bawang goreng, taoge pendek mentah serta menyelipkan sambal terasi.
“Itu kerupuknya. Sayang, telur asinnya kok habis ya,” kata Mak Ti.
Lahir tahun 1966 di Kota Blitar dengan nama Sumiyati, Mak Ti berjualan kuliner rawon sejak tahun 1989 di wilayah Kelurahan Bendogerit Kecamatan Sananwetan.
Menunya bukan hanya rawon. Tapi juga soto daging dan pecel. “Pedagang kaki lima di Kota Blitar waktu itu belum sebanyak seperti sekarang,” selorohnya.
Racikan kulinernya banyak diminati, terutama rawon. Pelanggan yang datang dari mana-mana. Laris.
Pada tahun 1995, Mak Ti menghentikan usahanya. Ia memutuskan menjadi buruh migran (TKW), selama 8 tahun banting tulang di negara Hongkong.
“Untuk menghidupi 6 anak,” kenangnya.
Sepulang dari Hongkong, usaha kuliner yang sempat terjeda itu kembali berlanjut hingga sekarang.
Menu kuliner Angkringan Mak Ti semakin beragam. Membersamai rawon, ada nasi campur, nasi tahu, tahu lontong, nasi lodeh dan rujak cingur.
Mak Ti tidak membrandrol mahal kulinernya. Baginya untung sedikit sudah cukup, asal penikmat masakannya merasa puas.
Misalnya untuk seporsi rawon yang rasanya maknyus itu, hanya dibandrol Rp 10 ribu.
Karenanya, meski lokasi warung Angkringan Mak Ti di dalam gang kecil seberang jalan KFC Kota Blitar, para penikmat kuliner tetap mencarinya.
Selain rasanya enak juga murah. “Buka mulai jam 07.00 Wib pagi sampai jam 5 sore. Kalau malam tutup,” pungkasnya.
Penulis: Solichan Arif