Bacaini.ID, JAKARTA – Langkah strategis Garuda Indonesia menggandeng profesional asing ke jajaran direksi bukan sekadar gebrakan bisnis, melainkan juga sinyal keras, yakni transformasi total tengah digelar dari dalam tubuh maskapai pelat merah ini.
Di balik diplomasi korporat dan narasi daya saing global, ada satu persoalan lama yang terus menghantui; korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan sumber daya manusia di BUMN.
Chief Investment Officer Danantara Indonesia, Pandu Sjahrir, mengisyaratkan bahwa talenta global akan mulai masuk ke Garuda. “Kita tidak bisa lagi hanya jadi raja di negara sendiri,” ujarnya.
Dunia, menurut Pandu, sudah masuk ke era kompetisi kualitas manusia, bukan sekadar modal atau infrastruktur. Namun di balik alasan ideal soal produktivitas per kapita dan transfer ilmu, terselip realitas pahit, yaitu pengelolaan Garuda selama ini belum sepenuhnya profesional dan bebas dari praktik KKN.
Ini bukan tuduhan tanpa dasar. Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, secara terbuka pernah mengungkapkan bahwa salah satu biang kerok membengkaknya utang Garuda adalah praktik korupsi di masa lalu. “Saya menemukan bahwa banyak pembelian armada, leasing, hingga pengeluaran lainnya yang sarat penyimpangan. Itu bukan salah pasar, tapi salah pengelola,” ujar Irfan kepada media.
Hal tersebut terbukti saat mantan Dirut Garuda sebelumnya Emirsyah Satar menjadi terdakwa suap, korupsi dan pencucian uang yang saat ini telah divonis dan mendekam di penjara meskipun pihak yang ikut menyuap dibebaskan oleh hakim dalam putusan PK, Soetikno Soedardjo.
Irfan juga menyinggung soal bagaimana kontrak-kontrak jangka panjang dibuat bukan atas dasar efisiensi bisnis, tetapi karena adanya ‘komitmen-komitmen tak tertulis’ yang kental dengan aroma kolusi. Bahkan dalam beberapa kasus, pihak yang terlibat diduga menjadikan Garuda sebagai kendaraan rente, bukan institusi layanan publik.
Hal ini menjadi konteks penting dari munculnya rencana penunjukan direktur berkewarganegaraan asing yang diharapkan membawa disiplin baru, tata kelola transparan, dan semangat meritokrasi yang selama ini minim di BUMN.
Dengan suntikan modal dari Danantara Indonesia sebesar US$405 juta (sekitar Rp6,65 triliun), yang akan diberikan bertahap hingga total US$1 miliar, Garuda seolah tengah disiapkan untuk dibersihkan dan dirombak. Tidak hanya armada dan operasional, tetapi juga budaya organisasinya.
Perubahan struktur akan diformalkan lewat Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 30 Juni 2025, dengan salah satu agenda utama adalah pergantian pengurus, yang diinisiasi langsung oleh Kementerian BUMN melalui surat resmi bernomor S-337/MBU/05/2025.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kehadiran profesional asing akan menjadi solusi nyata atau justru sinyal bahwa bangsa ini belum percaya pada SDM-nya sendiri untuk mengelola perusahaan strategis?
Di satu sisi, ini bisa menjadi peluang kolaboratif, membawa praktik terbaik global untuk memperbaiki sistem yang lama rusak. Namun di sisi lain, langkah ini sekaligus menjadi refleksi menyakitkan bahwa korupsi sistemik di dalam negeri membuat kita harus menyewa kejujuran dari luar negeri.
Garuda tengah dalam fase reboot. Tapi apakah perubahan ini akan menciptakan langit baru yang lebih bersih, atau justru menjadi panggung konflik antara profesionalisme global dan budaya birokratis lokal. Waktu yang akan menjawab.
Penulis: Danny Wibisono
Redaksi menerima opini, kritik, dan pengalaman Anda seputar pelayanan atau pengelolaan Garuda Indonesia. Kirimkan ke bacainimedia@bacaini.online atau gunakan tagar #ReformasiGaruda di media sosial Anda.
