Bacaini.ID, BLITAR – Apakah Petrus atau operasi Penembakan Misterius atau Penembak Misterius perlu dihidupkan lagi?.
Pertanyaan itu dilontarkan netizen di media sosial dengan menyertakan rekaman CCTV kawanan begal beraksi siang hari di wilayah Klakah Kabupaten Lumajang, Jawa Timur 10 Mei 2025.
‘Proyek’ Petrus diketahui berlangsung pada medio 1982-1985, masa-masa mencekam pertama rezim Orde Baru pasca tragedi 1965.
Hampir setiap hari atau sepekan sekali masyarakat di Jawa Timur, Yogyakarta dan Jakarta menyaksikan mayat manusia bergelimpang di tempat umum, beberapa di antaranya di dalam karung.
Pada mayat yang sengaja dipertontonkan itu secara spesifik selalu ditemukan luka tembak di bagian kepala atau dada. Tembakan senjata api yang mematikan.
Secara spesifik juga hampir semuanya dikenal sebagai bromocorah, preman, berandalan, residivis, bekas napi dan semacamnya.
Di wilayah Yogyakarta ada istilah Gali (gabungan anak liar), terminologi lokal yang merujuk pada bromocorah, bandit, begal, berandalan atau anggota geng yang meresahkan.
Mayat-mayat yang teridentifiasi sebagai Gali itu juga hampir semuanya memiliki tato di tubuhnya.
“Secara khusus tato-yang dipandang sebagai tanda identifikasi simbolis dengan dunia gelap kejahatan-dipakai untuk mengidentifikasi sasaran pengenyahan potensial,” demikian dikutip dari buku Politik Jatah Preman (2018).
Pada medio 1982-1985 muncul fenomena orang-orang yang baik dari kalangan bromocorah maupun seniman, diam-diam berupaya menghapus tato di tubuhnya.
Mereka ketakutan jadi sasaran operasi Petrus berikutnya. Tak ayal penghapusan dilakukan seadanya. Yang paling banyak dengan menyiram air aki atau setrika panas.
Akibatnya timbul jejak luka bakar pada kulit yang terlihat buruk, mengerikan.
Tercatat selama 1982-1985, sebanyak 5000-10.000 orang yang terduga preman, bromocorah, begal, residivis tewas oleh operasi Petrus.
“Konsentrasi terbesarnya berada di Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta”.
Efek operasi Petrus sangat terasa di masyarakat. Angka kriminalitas anjlok drastis, utamanya di wilayah Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta.
Aksi premanisme, perampokan, penodongan, begal, penjambretan di jalanan mendadak sepi. Dalam peristiwa ini publik tidak mengecam karena merasa diuntungkan.
Operasi petrus berakhir pada 1985 menyusul isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sementara rezim Orde Baru sejak awal hingga akhir tidak banyak menjelaskan operasi diam-diam ini.
Kepala Kopkamtib Benny Moerdani (LB Moerdani) berdalih mayat-mayat yang bergelimpangan itu akibat perang perebutan wilayah di antara para gali sendiri.
Presiden Soeharto dalam biografinya tahun 1989, justru lebih terbuka meski tidak disampaikan secara lengkap. Menurut Pak Harto, Petrus bertujuan untuk terapi kejut.
Penulis: Solichan Arif