Bacaini.ID, KEDIRI – Namanya Atmakusumah Astraatmadja atau biasa disapa Pak Atma. Ia yang menulis Rancangan Undang-undang Pers tahun 1999 pasca Presiden Soeharto lengser.
Yang tidak kalah penting diketahui oleh para jurnalis hari ini, terutama mereka yang muda dan lahir di era melimpahnya sampah informasi digital.
Atmakusumah juga yang merancang Kode Etik Wartawan Indonesia, mendirikan Dewan Pers dan sekaligus ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pers pertama.
Lahir di Labuan, Kabupaten Padeglang 20 Oktober 1938, Atmakusumah memulai karir sebagai wartawan Indonesia Raya Minggu pada usia 19 tahun.
Perjalanannya sebagai seorang jurnalis panjang dan penuh liku-liku, tekanan, maupun ancaman.
Pada tahun 1957, laporan feature-nya tentang 5 wartawan pemenang Magsaysay, termasuk Mochtar Lubis, Pimred harian Indonesia Raya yang sedang mendekam di bui, berbuah petaka.
Corps Polisi Militer mendatangi ruang redaksi, meminta laporan Atmakusumah untuk tidak dilanjutkan. Empat bulan berikutnya, harian Indonesia Raya dibredel.
Di sela kuliah jurnalisme, saat itu Atmakusumah diketahui juga bekerja sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia (RRI).
Atmakusumah lantas bekerja untuk Duta Masyarakat Minggu, harian milik Nahdlatul Ulama (NU). Lagi-lagi tulisannya bikin gusar militer, yang kali ini soal film.
Duta Masyarakat terancam dibredel. Setelah berdiskusi dengan Mahbub Djunaidi, editor Duta Masyarakat, Atmakusumah memutuskan pergi.
Pada tahun 1961, di usia 23 tahun ia pindah ke Melbourne, bekerja untuk Radio Australia seksi Indonesia.
Hidupnya berpindah-pindah dan itu membuat Atmakusumah banyak mendapat kenalan dari berbagai latar belakang, termasuk orang-orang kiri eks Boven Digul.
“Pasti ada orang baik di manapun, dan selalu ada orang jahat di manapun,” begitu pandangan sosialnya.
Pandangan itu yang membuat Atmakusumah selalu berpesan kepada murid-muridnya, “Jangan sekali-kali mempergunakan alasan stereotype saat menilai orang”.
Pada pertengahan tahun 1965 Atmakusumah kembali ke Indonesia dan bekerja di LKBN Antara. Ia menghadapi suasana redaksi yang kurang menyenangkan, penuh dengan gesekan.
Masa-masa menegangkan medio 1965-1969 dilewatinya. Pada tahun 1968 Mochtar Lubis mengajak Atmakusumah menghidupkan kembali Indonesia Raya yang sudah 10 tahun dibredel.
Ia menggawangi ruang redaksi sebagai redaktur pelaksana. Laporan dugaan korupsi di badan usaha milik negara, badan usaha logistik, Pertamina dan puncaknya peristiwa Malari 1974, membuat harian Indonesia Raya kembali dibredel.
Nama Atmakusumah menjadi salah satu wartawan yang diblack list dan tidak bisa bekerja di surat kabar apapun di Indonesia.
Ia pindah kerja di kedutaan Amerika Serikat, di mana salah satu tugasnya menuliskan pidato para duta besar Amerika Serikat.
Atmakusumah banyak belajar soal jurnalisme di Amerika Serikat. Ia juga menulis untuk majalah Titian dengan nama samaran Ramakresna.
Pada tahun 1992 Atmakusumah menjadi instruktur Lembaga Pendidikan Pers Dr Soetomo, Jakarta, untuk melatih wartawan-wartawan Indonesia agar lebih cakap.
Pada Juni 1994. Sebuah peristiwa pembredelan tiga media mingguan oleh rezim Soeharto, yakni Detik, Editor dan Tempo membuat Atmakusumah naik pitam.
Ia kembali terlibat dalam pusaran perjuangan pers. Ia berbeda pandangan dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang bisa “memaklumi” pembredelan itu.
Peristiwa pembredelan yang disusul perlawanan luas dari wartawan dan berbagai elemen masyarakat sipil, melahirkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994.
Pada tahun 2000, Atmakusumah mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari Filipina atas perjuangannya selama 3 dekade memperjuangkan kemerdekaan pers di Indonesia.
“Saya merasa bangga bisa bekerja sama dengan gerakan jurnalis dan mahasiswa, yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi serta pendukung hak asasi manusia di seluruh negeri,” demikian pidatonya saat menerima penghargaan di Manila.
Pada 2 Januari 2025 atau baru sebulan lalu, Atmakusumah tutup usia di RSCM Jakarta lantaran persoalan ginjal yang diderita.
Penulis: Solichan Arif