Heboh kehadiran AI dari China, DeepSeek yang menjadi tandingan ChatGPT dari Amerika Serikat (AS) beberapa hari lalu membuat saham NVIDIA anjlok hingga 17% pada Senin (27/1/2025). Kehadiran DeepSeek yang kemampuannya lebih cepat dan biaya investasi lebih murah memberikan kejutan luar biasa, meski selama ini China terkena embargo tidak boleh membeli peralatan hardware AI dari NVIDIA oleh AS.
Sisi lainnya, di era AI yang semakin canggih dan akurat ini, pada bidang pendidikan siapakah yang sebenarnya belajar? Mesin AI atau pelajar/mahasiswa Bukan rahasia lagi, kini siswa atau mahasiswa mengerjakan tugas dengan bantuan AI, khususnya AI berbasis LLM seperti ChatGPT. Tinggal memasukkan pertanyaan, jawaban profesional langsung keluar.
Apakah ini salah? Regulasi penggunaan AI di negara kita masih belum diatur saat ini. Memang, idealnya, tugas dikerjakan dengan usaha sendiri, atau paling tidak, ide utamanya berasal dari siswa. AI hanya alat bantu—berguna untuk brainstorming atau mengembangkan ide. Tapi kenyataan di lapangan berbeda. AI sering dipakai hingga menghasilkan jawaban akhir yang tinggal di-copy-paste alias menyontek.
Guru, dosen memang dapat menggunakan detektor AI untuk mengetahui tugas tersebut dikerjakan sendiri atau oleh AI. Tapi hal tersebut masih kurang efektif. Menggunakan cara manual juga bisa dilakukan oleh guru dan dosen yang paham dan familiar dengan AI. Mereka mungkin dapat mengenali gaya bahasa ChatGPT yang sering netral dan berakhir dengan kesimpulan klise. Namun, jika siswa mengedit sedikit, sulit membedakan mana buatan manusia dan mana buatan AI.
Lantas, bagaimana solusinya? Fenomena ini terjadi sehari-hari di lingkungan pendidikan kita. Regulasi belum ada, aturan baku internal kampus dan sekolah juga masih jarang secara tertulis. Alih-alih melawan teknologi, pendidikan perlu beradaptasi dengan AI.
Ada dua pendekatan yang bisa ditawarkan: Sistematik dan Mikro.
Pendekatan Sistematik: Adaptasi kurikulum.
Kurikulum dan cara mengajar perlu lebih menekankan:
- Berpikir kritis daripada hafalan.
- Praktek langsung daripada teori.
- Riset mandiri daripada menelan mentah-mentah informasi.
- Proses belajar lebih dihargai daripada hasil akhir.
Sedangkan pendekatan Mikro: Guru atau dosen perlu merancang tugas/soal yang relevan dengan era AI, seperti:
- Berbasis masalah nyata.
Contoh: Daripada bertanya “Apa itu rangkaian listrik seri dan paralel?” lebih baik minta siswa mendesain diagram listrik di rumah. - Berbasis eksperimen.
Contoh: Daripada meminta definisi fotosintesis, lebih baik minta siswa menguji fotosintesis dengan eksperimen kecambah. - Berbasis argumen.
AI sering netral dan sulit berargumen tajam. Guru dapat meminta siswa membuat opini yang menuntut posisi tegas. - Kolaboratif.
Desain tugas untuk diskusi kelompok. Dalam kelompok, siswa yang lebih taat aturan dapat membantu mengurangi risiko penyalahgunaan AI. - Mengkritisi AI.
Contoh: Minta siswa mengevaluasi jawaban yang dihasilkan AI—apa kelemahannya, apakah ada bias, atau bagaimana jawabannya bisa diperbaiki.
Dengan cara ini, AI bukan ancaman bagi pendidikan, melainkan peluang untuk mengubah cara kita belajar. Dengan adaptasi kurikulum dan evaluasi yang tepat, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya pintar memanfaatkan teknologi, tetapi juga berpikir kritis, kreatif, dan inovatif.
Penulis:
Oka Mahendra
Mahasiswa Program Doktor Teknik Elektro ITB dan Peneliti di BRIN