KEDIRI – Materi tentang Gerakan 30 September dan Pahlawan Revolusi tetap diajarkan kepada siswa melalui daring. Pelajar diajak menonton film G30 S/PKI sebelum melakukan diskusi dengan guru sejarah.
Meski belajar melalui daring, materi tentang G30S/PKI tetap diajarkan oleh guru kepada siswa di Kota Kediri. Kisah pemberontakan PKI yang diikuti peringatan Hari Kesaktian Pancasila adalah sejarah yang harus diketahui para siswa. “Belajar sejarah tidak ada yang perlu dibatasi. Sebagai penerus bangsa, pelajar harus tahu sejarah dengan sebenarnya,” kata Moedjiono, guru mata pelajaran Sejarah SMA Negeri 2 Kediri kepada Bacaini.id, Kamis 1 Oktober 2020.
Dia mengatakan, sebelum pandemi berlangsung, dia selalu memutar film G30S/PKI di dalam kelas. Selanjutnya dia mengajak siswanya berdiskusi tentang sejarah tersebut. Diskusi ini penting untuk mengeliminir kesalahpahaman dan adegan kekerasan dalam film tersebut.
Materi tentang PKI, menurut Moedjiono juga sesuai dengan Kompetensi Dasar kelas XII. Di sana sudah dikenalkan gejala disintegrasi bangsa terkait pemberontakan, seperti PKI di Madiun dan pemberontakan DI/TII. “Jadi itu sudah ada di KD pembelajaran kelas XII,” kata Moedjiono.
Tak hanya mengajak menonton film, Moedjiono juga memberikan tugas membuat komik berkaitan dengan film itu. Tugas ini dilakukan secara berkelompok untuk mengukur pemahaman dan imajinasi mereka tentang peristiwa tersebut. “Dengan membuat komik, saya jadi bisa tahu tanggapan siswa tentang peristiwa dalam penggambaran imajinasi mereka,” jelas Moedjiono.
Selama pandemi ini, Moedjiono tetap menugaskan anak didiknya menyaksikan film yang disiarkan di televisi nasional di rumah masing-masing. Selanjutnya dilakukan diskusi tanya jawab secara bebas melalui Whatsapp. “Saya kasih peta konsep, merangkum hasil diskusi untuk dijadikan esai,” ucapnya.
Pembatasan untuk pelajaran sejarah pemberontakan G30S PKI hanya pada sudut pandang peristiwa. Setelah itu dilakukan penyatuan sudut pandang agar tidak menghakimi, atau munculnya pemikiran menyimpang pada siswa.
“Asal-usul keluarga siswa akan berpengaruh dalam hal ini. Sehingga banyak kekhawatiran munculnya gerakan serupa di kalangan masyarakat. Sudah menjadi kewajiban guru melakukan pengawasan, bukan batasan,” pungkasnya. (Novira Kharisma)