Bacaini.ID, KEDIRI – Akhir tahun lalu, Wardah Cosmetics Indonesia dinobatkan sebagai produk kecantikan nomor satu wilayah Asia Tenggara versi Campaign Asia.
Wardah mengalahkan Vaseline, Watsons, NIVEA dan produk-produk kecantikan lain yang beredar di wilayah Asia Tenggara.
Penilaian ini berdasar pada awareness, pembelian, kualitas, pengalaman membeli, layanan pelanggan, kepercayaan, inovasi, brand touchpoins (kemudahan penggunaan di semua interaksi digital dan offline), dan advokasi (tingkat rekomendasi).
Wardah yang semula hanya bisnis kecil dengan segmentasi khusus, muslimah berhijab, ternyata mampu bertahan dan menjadi semakin besar hingga jadi brand yang diperhitungkan.
Belajar dari Wardah, Dini, spesialis digital marketing dalam akun X @dinikopi13 mengulas keberhasilan Wardah membangun usaha yang semakin besar, ketimbang brand Tupperware yang bangkrut lantaran kalah dengan kemajuan zaman.
Pivot Bisnis
Mengubah arah bisnis menyesuaikan zaman adalah salah satu kunci keberhasilan sebuah usaha.
Dalam studi kasus pada kebangkrutan Tupperware, mereka gagal mengubah arah bisnisnya menjadi lebih fleksibel agar mengikuti perkembangan.
Tupperware tetap berpegang teguh pada cara-cara direct selling di zaman yang serba online. Akibatnya, penjualan menurun drastis dan kalah dengan kompetitor yang lebih agresif dalam penjualan.
Sementara itu, Wardah yang sebelumnya membranding produk mereka sebagai produk halal untuk muslimah berhijab, me-rebranding brand-nya menjadi produk yang bisa digunakan oleh siapa saja.
Wardah mengubah arah bisnisnya dengan target konsumen yang lebih luas dan beragam.
Inovasi
Pada awal peluncurannya, Wardah terkesan hanyalah kosmetik kelas menengah bawah yang dipakai oleh perempuan-perempuan paruh baya.
Kemasan polos dengan warna itu-itu saja, bentuk kemasan yang apa adanya, dan produk yang tak banyak pilihan.
Namun seiring perubahan arah bisnis, Wardah berinovasi dengan meluncurkan produk-produk untuk perempuan muda dengan warna-warna cerah dan kemasan yang lebih menarik.
Hal itu berbeda dengan Tupperware yang tidak melakukan expanding market ke gen Z misalnya.
Tupperware tetap mempertahankan desain-desain kuno walaupun tetap ada sentuhan baru, namun terkesan ‘nanggung’.
Sementara kompetitor selalu berinovasi menciptakan tren dan desain yang lebih kekinian hingga lebih menjadi pilihan.
Wardah layak untuk dijadikan contoh UMKM atau bisnis lokal dalam mengelola usaha.
Pivot bisnis akan berhasil jika dilakukan dengan riset, dengan data yang valid. Bukan hanya mengubah arah bisnis berdasar ego manajemen
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif