Bacaini.ID, JAKARTA – Sutan Sjahrir, tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) tidak ada dalam peristiwa sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Sebagai salah satu founding father dan sekaligus Perdana Menteri pertama Indonesia, Sjahrir tidak nampak dalam dokumentasi (foto) Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta.
Sosoknya tidak ada. Ya, Sjahrir memang tidak hadir saat Bung Karno, Bung Hatta dan sejumlah tokoh pergerakan menyusun teks Proklamasi di rumah Laksamana Maeda dan kemudian Sayuti Melik sebagai juru ketiknya.
Sayuti Melik adalah suami SK Trimurti, jurnalis cum aktivis pergerakan yang kemudian jadi Menteri Perburuhan Indonesia pertama.
Sjahrir yang berprinsip tegas diketahui sengaja absen lantaran pemikirannya soal Proklamasi Kemerdekaan sudah tidak sejalan dengan Bung Karno dan Bung Hatta.
Dua hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan atau 15 Agustus 1945, Sjahrir sudah menyusun teks Proklamasi Kemerdekaan RI sekaligus mendesak Soekarno-Hatta segera menyuarakannya.
Sjahrir lebih dulu mendengar kabar Jepang menyerah kepada Sekutu dan bergegas menyampaikan informasi itu kepada Soekarno dan Hatta, namun Dwi Tunggal itu belum sepenuhnya percaya.
Bung Karno dan Bung Hatta bersama Ahmad Subardjo melakukan konfirmasi ke Laksamana Maeda, namun tidak mendapat jawaban jelas dengan alasan Maeda belum dapat keterangan resmi.
Petinggi Angkatan Laut Jepang itu meminta Soekarno dan Mohammad Hatta bersabar menunggu dan bekerja seperti biasa di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
“Soekarno maupun Hatta tampak gelisah dan terguncang serta kecewa,” tulis Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution.
Sementara Sjahrir sudah tidak sabar. Menurutnya, pada 15 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan harus dikumandangkan.
Dikutip dari buku Sjahrir Politik Dan Pengasingan di Indonesia, Sutan Sjahrir mengatakan, semua pesan telah disampaikan ke semua pos penting di Pulau Jawa bahwa Proklamasi akan berkumandang setelah pukul lima petang hari itu.
Ribuan orang telah disiapkan, demonstrasi akan dipusatkan di Lapangan Gambir Jakarta. Skenarionya, para pejuang akan merebut stasiun radio dan kantor polisi militer (Kempei).
Sjahrir juga sudah menyiapkan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang ia tulis pada 14 Agustus 1945. Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu terdiri dari 300 kata.
Isinya menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang sekaligus pernyataan rakyat Indonesia menolak jadi barang inventaris yang diserahkan dari tangan pemerintahan kolonial satu ke tangan pemerintahan kolonial yang lain.
Teks yang akan dibaca Soekarno itu telah diedarkan sembunyi-sembunyi kepada para aktifis pergerakan di kantor surat kabar Domei dan stasiun radio, untuk diterbitkan dan disiarkan.
Namun persis sebelum pukul enam petang 15 Agustus 1945 tiba kabar dari Soekarno yang intinya belum bisa mengumumkan proklamasi kemerdekaan. “Ia (Soekarno) belum dapat mengumandangkan proklamasi, dan menginginkan penundaan selama sehari”.
Sjahrir sontak kecewa sekaligus marah kepada Soekarno dan memutuskan bersikap pasif saat Soekarno dan Hatta dan sejumlah tokoh pergerakan menyiapkan teks Proklamasi Kemerdekaan di rumah Laksamana Maeda.
Pada malam 16 Agustus 1945 itu teks Proklamasi Kemerdekaan Sjahrir sempat dibahas, namun kemudian dibuang karena dinilai terlampau radikal bagi mereka yang mengedepankan kehati-hatian.
“Teks itu, menurut Sjahrir adalah anti Jepang bukan anti Belanda,” tulis Rudolf Mrazek dalam buku Sjahrir Politik Dan Pengasingan Di Indonesia.
Sebagai bagian perjalanan sejarah bangsa, nasib teks Proklamasi Kemerdekaan yang ditulis Sjahrir tidak jelas jluntrugnya. Sutan Sjahrir sendiri tidak menyimpan salinannya.
Begitu pula dengan Des Alwi, anak angkat Sjahrir mengaku tidak ingat lagi isi dari teks proklamasi tersebut. Pemimpin Pendidikan Cirebon Dr Soedarsono, mengaku pernah melihat teks Proklamasi Sjahrir tersebut.
Sayangnya ia tak mampu mengingat seluruh isinya. Yang terekam di ingatannya teks Proklamasi Sjahrir memuat kata-kata aneh dan manis seperti masyarakat demokratis.
Penulis: Solichan Arif