SURABAYA – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan kandungan obat untuk virus Corona (Covid-19) yang diproduksi laboratorium Universitas Airlangga Surabaya. Jika tak terbukti manjur, pengujian klinik harus diulang.
Melalui siaran persnya, BPOM mengungkapkan tiga kombinasi obat yang diklaim sebagai penawar corona pertama di dunia. Ketiga kombinasi itu adalah; Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin, Hydrochloroquine dan Azithromycin.
Dikutip dari situs kesehatan alodokter, Lopinavir-ritonavir adalah kombinasi obat antivirus yang digunakan sebagai obat pendukung untuk menangani infeksi HIV. Lopinavir-ritonavir merupakan antivirus golongan penghambat protease. Kombinasi kedua obat itu bisa digunakan bersama obat ARV untuk mengurangi jumlah virus HIV di dalam darah.
Di dalam tubuh, Lopinavir-ritonavir bekerja dengan menghambat proses pembelahan virus, sehingga virus tidak dapat menginfeksi tubuh.
Sedangkan Azithromycin merupakan obat untuk mengobati infeksi bakteri di berbagai organ dan bagian tubuh, seperti saluran pernapasan, mata, kulit, dan alat kelamin. Obat golongan antibiotik makrolida ini bekerja dengan cara menghentikan pertumbuhan bakteri. Sayangnya Azithromycin tidak dapat digunakan untuk mengatasi infeksi virus.
Doxycycline diklaim mampu mengatasi beragam penyakit akibat infeksi bakteri, mulai dari infeksi bakteri di paru-paru, saluran cerna, saluran kemih, mata, kulit, hingga infeksi menular seksual, seperti sifilis. Namun hingga kini obat tersebut kurang mempan untuk mengatasi infeksi akibat virus seperti pilek.
Kandungan berikutnya adalah hydroxychloroquine. Obat ini dikenal sebagai obat malaria yang ampuh menangani penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh atau autoimun.
Kandungan terakhir adalah Azithromycin. Sama seperti Doxycycline yang diklaim mampu mengatasi beragam penyakit akibat infeksi bakteri, mulai dari infeksi bakteri di paru-paru, obat ini belum terbukti efektif untuk melawan virus.
Kepala BPOM Penny K Lukito dalam konferensi pers di channel YouTube BPOM menyebutkan, ada temuan kritis (critical finding) dari hasil pengujian yang dilakukan peneliti di laboratorium Unair. Karena itu BPOM memberikan catatan khusus atas temuan obat itu sebelum memberikan rekomendasi untuk diproduksi secara massal.
Beberapa catatannya terkait validitas serta subjek uji yang belum merepresentasikan randomisasi. “Jika perbaikan dan klarifikasi tersebut tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik,” dikutip dari rilis BPOM. (HTW)