Bacaini.id, BLITAR – Pada tahun 1960 makam Moedjair atau dikenal Mbah Moedjair dipugar. Kuburan di Desa Papungan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar itu berada di area pemakaman umum desa.
Pada nisan Mbah Moedjair, Departemen Perikanan Indonesia mendirikan monumen kecil bergambar ikan. Tertera tulisan: Moedjair Penemu Ikan Moedjair. Ya, Mbah Moedjair berjasa besar, khususnya soal gizi bangsa.
Pada masa pemerintahan Soekarno atau Bung Karno, ikan mujair hasil temuan Mbah Moedjair ikut menyokong program perbaikan gizi rakyat. Tidak heran Mbah Moedjair semasa hidupnya menerima banyak penghargaan.
Pada 17 Agustus 1951 ia menerima penghargaan dari Kementerian Pertanian. Pada 30 Juni 1954 Mbah Moedjair mendatangi Bogor Jawa Barat untuk menerima penghargaan dari Indo Pasifik Fisheries.
Lima bulan sebelum peristiwa G30S PKI meletus, yakni tepatnya 6 April 1965, Presiden Soekarno menerbitkan piagam penghargaan untuk Mbah Moedjair yang saat itu sudah tutup usia. Mbah Moedjair diketahui meninggal dunia pada 7 September 1957 lantaran penyakit asma yang diderita.
Pada piagam penghargaan tertulis “Untuk jasa dan darma bakti kepada Revolusi, Bangsa dan Negara Indonesia”. Wibowo, cicit Mbah Moedjair pada pertengahan 2020 di salah satu media pernah mempertanyakan status Mbah Moedjair sebagai Nelayan Pelopor. Yang ia tahu kakek buyutnya bukan nelayan.
“Apa mungkin karena kategorinya yang ada saat itu hanya nelayan pelopor ya?, “tanya Wibowo kala itu.
Ulet dan Tak Kenal Menyerah
Mbah Moedjair diketahui tidak pernah berprofesi sebagai nelayan. Ia adalah jogoboyo desa atau perangkat desa yang bertanggung jawab untuk urusan keamanan di desa.
Lahir 1890 di Desa Kuningan Kecamatan Kanigoro Kabupaten Blitar dari orang tua bernama Bayan Isman dan Rubiah yang dikaruniai sembilan anak, dan Moedjair merupakan anak keempat.
Moedjair menikahi Patimah, anak modin Kuningan dan dari perkawinannya lahir tujuh anak. Pasutri muda itu kemudian memilih menetap di Desa Papungan yang bersebelahan dengan Desa Kuningan.
Moedjair dikenal berwatak keras, terutama ketika sudah berpendirian dan berkeinginan. Ia akan berjuang mati-matian untuk mewujudkan. Begitu juga saat melihat gerombolan ikan yang merenangi muara Pantai Serang, Blitar Selatan.
Ia pernah menyantap ikan bersisik kehijauan yang tabiatnya gesit dan liar itu. Selain berdaging cukup tebal dan kesat, rasa dagingnya juga lebih gurih. Satu lagi yang menarik perhatiannya, ikan liar itu mudah berkembang biak.
Kemudian juga tidak berwatak kanibal yang memangsa anak-anaknya sendiri. Timbul gagasan bagaimana ikan yang hidup di air payau itu berpindah habitat di kolam air tawar. Moedjair diketahui tidak memiliki latar pendidikan perikanan.
Sekolah Rakyat (SR) merupakan satu-satunya pendidikan formal yang pernah dienyamnya. Selebihnya ia dikenal sebagai penjual sate di Blitar yang sempat sukses namun kemudian bangkrut lantaran hobinya taruhan.
Keberadaanya di Pantai Serang Blitar Selatan konon dalam rangka memperbaiki ekonomi yang carut marut. Moedjair berfikir, jika bisa berkembang biak di kolam, ikan di muara pantai Serang itu akan banyak manfaatnya buat masyarakat.
Sementara jarak kawasan Pantai Serang dari Desa Papungan Kanigoro sangat jauh. Selain jauh, akses menuju kawasan harus menempuh jalanan yang sulit. Namun semua kesulitan itu tidak melunturkan tekad Moedjair.
Ia memulai eksperimennya dengan memasukkan sejumlah ikan di dalam tempayan tanah liat yang sudah diisi air laut. Moedjair memanggul tempayan dengan berjalan kaki sejauh 35 kilometer.
Tiba di Papungan, ia tambahkan air tawar ke dalam tempayan yang tujuannya untuk mengurangi kadar garam air laut. Di benaknya ikan akan perlahan beradaptasi. Apa yang terjadi? Semua ikan mati.
Moedjair kembali mendatangi Pantai Serang dan kembali membawa ikan ke Papungan. Semua percobaan yang dilakukannya sendiri itu kembali gagal. Pada percobaan yang ke-11, empat ekor ikan yang dibawa Moedjair bertahan hidup.
Dari dalam tempayan yang airnya sudah berubah tawar itu, Moedjair kemudian memindahkan ke dalam kolam. Dalam waktu cepat, empat ekor ikan itu berkembang biak. Keberhasilan Moedjair mengubah habitat ikan air payau ke air asin itu tercatat 25 Maret 1936.
Lantaran terus membiak, kolam yang berlokasi di Sumber Tenggong Papungan yang semula satu ditambah menjadi tiga kolam. Mbah Moedjair memutuskan membangun tempat tinggal baru di dekat kolam untuk memantau perkembangan ikan-ikannya.
Moedjair adalah orang pertama yang melakukan budidaya ikan di kolam. Nyaris seluruh warga saat itu bercocok tanam. Keberhasilan Moedjair beternak ikan di kolam didengar warga dan dalam waktu cepat menyebar.
Moedjair membagikan ikan-ikannya ke warga, termasuk benih ikan. Setiap berbagi ia selalu menyelipkan pesan, ikan untuk lauk pauk dan mudah berkembang biak. Kabar adanya ikan varietas baru itu didengar Asisten Residen Kediri.
Pejabat yang berlatar belakang ilmuwan itu takjub mendengar jerih payah, keuletan dan kegigihan Moedjair. Ia pun memberi penghargaan dengan memberi nama ikan jenis baru itu Mujair.
Residen Kediri mengangkat Mbah Moedjair sebagai pegawai khusus mengurusi masalah perikanan. Sejak masa kolonial Belanda hingga Jepang ikan mujair menjadi ikan favorit rakyat.
Puncak kejayaan ikan mujair berlangsung pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno. Penangkaran ikan mujair bukan hanya di kolam-kolam, melainkan menyebar di sungai, bendungan, hingga di parit-parit sawah.
Ikan mujair tidak hanya bergizi dan mudah diternak, tapi juga memiliki harga ekonomis. Sayangnya kejayaan ikan mujair pada akhirnya tumbang. Sejak munculnya program penggalakan ikan lele dumbo, gurami dan nila oleh rezim Orde Baru, ikan mujair tersisih.
Diperparah lagi dengan adanya propaganda mujair sebagai ikan hama yang menganggu ikan lain, eksistensi ikan mujair sebagai ikan konsumsi dan komersil semakin tidak mendapat tempat.
Mulai tahun 90-an dan puncaknya tahun 2000-an, keberadaan ikan mujair sebagai ikan rakyat yang turut berjasa memperbaiki gizi bangsa pada masa Pemerintahan Bung Karno itu, terancam punah.
Penulis: Solichan Arif
.