Bacaini.id, MALANG – Gus Tamyis atau Muhammad Tamyis, pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Desa Tangkilsari Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang Jawa Timur divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Gus Tamyis diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santriwati, namun hanya lima santriwati yang berani melaporkan secara hukum. Vonis atau putusan 15 tahun penjara dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen Senin (8/1/2024).
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muhammad Tamyis dengan pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 1 miliar. Dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” tegas Hakim Jimmi Hendrik Tanjung Senin (8/1/2024).
Peristiwa dugaan pelecehan seksual itu berlangsung sejak tahun 2020. Santriwati yang menjadi korban Gus Tamyis diduga mencapai belasan orang, namun hanya lima santriwati yang berani melapor ke aparat hukum.
Para korban mendapat pendampingan dari YLBHI LBH. Terungkap, para korban mengaku diperlakukan tidak senonoh oleh Gus Tamyis dengan alasan bentuk kepatuhan terhadap guru. Korban yang rata-rata masih di bawah umur, merasa tertekan.
Usai dilecehkan secara seksual, para korban mengaku diberi imbalan uang oleh pelaku Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu.
Sementara, vonis 15 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim sesuai dengan tuntuan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Perwakilan dari YLBHI LBH Surabaya Daniel mengapresiasi putusan pengadilan.
Menurut Daniel, vonis yang dijatuhkan menjadi preseden baik penegakan hukum yang berkeadilan bagi korban kekerasan seksual. Putusan yang dijatuhan sekaligus memberi efek jera bagi pelaku dan juga mengakomodasi hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
”Kami mengapresiasi pada putusan yang telah disidangkan yang sesuai dengan tuntutan JPU yang dipandang memenuhi rasa keadilan bagi korban,” ujarnya.
Daniel menambahkan, bahwa putusan hakim telah mereprentasikan perspektif korban, yakni memberatkan terdakwa. Sebab perbuatan terdakwa telah merusak masa depan dan cita-cita korban yang masih berusia anak-anak.
Kemudian juga mencoreng citra dan teladan pesantren sebagai lembaga pendidikan, menimbulkan trauma pada korban, meresahkan masyarakat, termasuk berbelit-belit dalam persidangan.
”Saya berharap seluruh masyarakat dapat berkontribusi aktif dalam mencegah dan memberantas segala bentuk kekerasan seksual khususnya di dalam ponpes,” tegasnya.
Penulis: A.Ulul
Editor: Solichan Arif