Bacaini.id, KEDIRI – Salah satu yang hilang dari kebiasaan santri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri adalah bermain sepak bola api. Kebiasaan ini rutin dilakukan setiap bulan Ramadhan saat aku masih kanak-kanak.
Sebagai warga yang bermukim tak jauh dari lingkungan Pondok Pesantren Lirboyo, interaksiku dengan santri Lirboyo cukup kuat. Meski tak ikut mondok, aku banyak mengenal santri di sana. Mulai santri lokal Kediri hingga luar daerah.
Kebetulan juga lokasi masjid tempatku sholat Tarawih hanya sepelemparan batu dengan area pondok. Demikian pula tempatku bermain yang sama-sama memanfaatkan lahan kosong milik Dinas Pertanian di depan masjid bersama para santri.
Salah satu kebiasaan kami setiap pulang Tarawih adalah nonton sepak bola api. Aku yang saat itu duduk di bangku sekolah dasar begitu terpukau dengan permainan ini. Permainan yang hanya bisa dimainkan oleh anak-anak pondok di bulan puasa.
Sepak bola api adalah permainan sepak bola menggunakan bola api. Bola yang dipakai bukan bola sepak pada umumnya, melainkan buah kelapa.
Cara membuatnya mudah. Buah kelapa dikupas untuk menghilangkan kulit luarnya, hingga meninggalkan tempurung dan serabut. Selanjutnya tempurung yang masih utuh itu direndam di dalam minyak tanah selama 24 jam. Tujuannya agar seluruh bagian tempurung bisa menyerap minyak tanah.
Keesokan malamnya tempurung itu siap dipakai. Dengan sedikit pemantik api, dalam sekejap tempurung kelapa itu menjadi bola api. Mirip kepala Nicolas Cage dalam film Ghost Rider.
Setelah tempurung kelapa menyala, permainan pun dimulai. Area lapangan yang gelap menambah keseruan sepak bola api dengan warnanya yang menyala.
Hal yang paling membuatku kagum dari permainan itu adalah tidak satupun dari santri-santri itu yang mengenakan sepatu bola. Mereka menendang tempurung api yang menyala dengan kaki telanjang.
Satu-satunya pemain yang menggunakan pengaman adalah penjaga gawang. Namun alih-alih mengenakan sarung tangan tebal, pengaman yang dipakai adalah sandal jepit. Sandal itu dipakai untuk melapisi telapak tangan saat menepis bola.
Jangan membayangkan ada adegan tandukan atau bola lambung pada permainan ini. Semua pergerakan bola mendatar di atas tanah karena konstruksi tempurung yang keras.
Semula aku menduga para santri dibekali kemampuan spiritual untuk menahan rasa panas. Namun bayangan itu hilang ketika salah satu santri mengajakku bermain. “Ayo melu main, ora panas,” katanya menarik tanganku.
Aku sempat ragu. Selain takut dengan nyala api yang berkobar, aku tak memiliki kemampuan spiritual seperti mereka.
Pergulatan kecemasan itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba bola api itu menggelinding ke arahku. Spontan kutendang bola api yang menyala dengan telapak kaki. Mataku terpejam saat kakiku menyentuh bola.
Aku kaget. Kok tidak panas. Ternyata persinggungan kaki dengan api yang cukup cepat tidak membuat kulitku terbakar. Entah jika bola itu kuinjak lama-lama.
Menit berikutnya aku sudah larut dalam keseruan sepak bola api. Yang terasa hanya hawa dingin dan api yang mulai redup. Permainan itu berakhir saat tempurung kelapa benar-benar padam.
Kini permainan tradisional itu sudah tidak ada lagi di tempatku. Santri Lirboyo juga tak terlihat memainkannya di lapangan pondok. Mungkin karena sulitnya mencari minyak tanah saat ini. Atau keputusan pondok yang memulangkan santrinya saat ramadhan.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: