Tepat setahun sebelum Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) meluncurkan Kirab Pemilu bertajuk Pemilu Sebagai Sarana Integrasi Bangsa pada Rabu, 14 Februari 2023.
Hasyim Asyari, ketua KPU RI, dalam sambutannya menyatakan bahwa Pemilu merupakan arena konflik yang sah dan legal untuk siapapun yang berkepentingan untuk merebut kekuasaan politik atau mempertahankan kekuasaannya.
Namun, lebih jauh Pemilu juga mampu merajut integrasi bangsa bukan sebaliknya. Hasyim hendak menekankan bahwa sekalipun Pemilu sebagai arena pertarungan kepentingan dan konflik, tapi itu bukan untuk memecah belah bangsa.
Menurut dia, koalisi dan oposisi dalam iklim politik Indonesia tidak selalu berjalan tegak lurus. Artinya, di tataran nasional suatu partai dapat berkoalisi ataupun beroposisi dengan partai manapun saat helatan untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Sementara di level daerah, saat Pilkada, suatu partai dapat berkoalisi dengan partai manapun meskipun itu tidak berbanding lurus dengan koalisi di tataran nasional. Misalnya, PDIP dapat berkoalisi dengan Nasdem, Golkar, PKB dan sebagainya untuk mensukseskan calon presidennya.
Sedangkan saat Pemilihan Kepala Daerah, PDIP di daerah tidak harus berkoalisi dengan pilihan koalisi pengurus pusatnya, bahkan dapat berkoalisi dengan partai yang di level nasional menjadi oposisi, seperti Gerindra, Partai Demokrat, bahkan PKS.
Bagi ketua KPU, realitas politik semacam itu mengindikasikan bahwa tidak ada lawan atau kawan abadi. Semua itu tergantung pada kepentingan, kebutuhan, dan pertimbangan politik yang digunakan untuk mencapai tujuan demokrasi itu sendiri: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lantas bagaimana Pemilu sebagai arena konflik dan pada saat yang sama menjadi ruang integrasi bangsa? Bukankah konflik – hampir – selalu dimaknai sebagai saudara kembar disintegrasi? Pada tulisan ini saya hendak mengelaborasi untuk menjawab pertanyaan ini dengan tuntas.
Demokrasi dan Konflik
Secara teoritis, konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat demokratis. Demokrasi mengijinkan terjadi pilihan beragam dari anggota masyarakat, termasuk pilihan politik. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan bagaimana pilihan politik dan ambil bagian dalam kontestasi untuk merebut kekuasaan dengan bertujuan menurut pemahaman, ideologi, dan kepentingannya yang lebih luas.
Pilihan yang beragam dalam masyarakat adalah bagian tak terpisahkan dari konflik itu sendiri. Keberagaman dalam ruang hidup demokratis memicu persinggungan, pergesekan, atau ketegangan dalam anggota masyarakat.
Konflik dalam teori sosial memang tidak dapat dipisahkan masyarakat. Konflik adalah watak sosial. Dalam perspektif filosofis menurut Lewis Coser, konflik adalah benturan nilai-nilai dan kepentingan, ketegangan antara apa dan bagaimana suatu kelompok masyarakat merasa bersikap yang seharusnya.
Sedangkan Karl Marx mendefinisikan konflik sebagai persinggungan kelas masyarakat. Ketimpangan yang diproduksi oleh struktur kelas yang terkait dengan pertentangan ekonomi.
Bagaimanpun konflik itu bersumber, nyatanya, konflik mampu menciptakan keseimbangan sosial. Dalam masyarakat demokratis yang mampu mengelola konflik dengan bijak dapat dijadikan medium penyeimbang kekuasaan, baik dalam konteks rakyat dan rakyat, atau negara dan rakyat.
Sehingga kebijakan politik yang diambil didasarkan pada kebutuhan masyarakat, bukan keuntungan yang didapat penguasa. Kesimpulannya, konflik tidaklah selalu bermakna peyoratif. Dalam konteks positif konflik itu dibutuhkan dan diperlukan menciptakan relasi sosial yang adil.
Pemilu Untuk Kedewasaan Nalar Publik
Setelah memahami bahwa konflik dalam ruang demokratis dapat dikelola untuk kepentingan publik lebih luas dan adil, maka kita akan cukup mudah memahami bahwa Pemilu sebagai arena konflik tidaklah bermakna seburuk yang kita kira.
Perbedaan adalah akar konflik dan itu keniscayaan. Pemilu memberi ruang kepada kita untuk berbeda. Antara satu dengan individu lain, boleh jadi punya pilihan sendiri yang kemudian itu harus dihargai satu sama lain. Masyarakat yang sejak semula memang berkarakter plural seperti Indonesia, seharusnya mampu beradaptasi dengan cepat adanya perbedaan pilihan politik. Pemilu tidak hanya merebut kekuasaan tapi juga untuk mendewasakan nalar publik.
Kesadaran publik akan perhargaan terhadap perbedaan politik perlu terus disemai. Sehingga momentum Pemilu dapat menciptakan iklim positif bagi perkembangan demokrasi. Pemilu memang soal menang dan kalah. Masyarakat menyadari itu. Sehingga, hasil Pemilu harus dihargai sebagai produk demokrasi yang terus mendewasakan masyarakat.
Dalam hal terjadi letupan-letupan kekecewaan harus segera diselesaikan tepat seusai perhelatan itu purna.
Merawat Ruang Kohesi Sosial
Setiap elemen masyarakat yang terlibat langsung maupun tidak langsung kini bertanggugjawab atas kenyamanan iklim politik Indonesia saat Pemilu. Peserta pemilu mesti menahan diri untuk tidak menggunakan politik identitas dalam meraih simpati publik.
Penyelenggara Pemilu harus tetap berada dalam koridor etika dan perundang-undangan, sehingga dapat mewujudkan Pemilu yang jujur, adil, bebas, rahasia. Begitu pula masyarakat juga ikut ambil peran aktif dalam menjaga kondusifitas baik di ruang publik dan virtual.
Jika sikap-sikap dewasa yang ditampilkan selama perhelatan Pemilu, maka apa yang disebut dengan Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa benar-benar terwujud. Yang terpenting juga adalah menghindari cara-cara kotor seperti politik identitas dalam komunikasi politik kita.
Kita tentu masih ingat bagaimana dampak Pemilu 2019 dan Pilkada Jakarta sebelumnya telah mengikis ruang kohesi sosial. Masyarakat ditarik dalam pertarungan politik seolah itu sebagai pertarungan yang hak dan yang batil, sehingga terus menyuburkan rasa kebencian dan kecurigaan antar sesama anggota masyarakat.
Pemilu, sekali lagi, memang ruang konflik legal untuk merebut kekuasaan, tapi itu tidak boleh mengikis kohesi sosial di antara masyarakat. Sebaliknya, Pemilu harus mampu mendewasakan nalar publik sehingga dapat adaptif terhadap beragam perbedaan-perbedaan pilihan dan pandangan. Ini harus menjadi komitmen bersama untuk merawat negeri ini yang sejak semula memang plural dan kohesif.
Moh. Ariful Anam*
*) Mahasiswa Pascasarjan UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung