Bacaini.id, KEDIRI – Tidak ada yang tahu persis kapan kedai rujak cingur dan tahu lontong ini berdiri. Pemiliknya hanya menjawab singkat jika ditanya soal itu, ”Sejak zaman Jepang”.
Kedai ini berada di Jalan Patimura, persis di sudut perempatan Kantor Pegadaian Kota Kediri kawasan Pasar Pahing. Dari arah barat kedai ini berada di utara jalan dan memiliki dua sisi, menghadap selatan dan timur. Memudahkan pengunjung yang datang dari arah mana saja.
Ukurannya tidak terlalu besar, lebar 2 meter dan panjang ruang tunggu tak sampai 4 meter. Meski kecil, kedai ini terlihat sangat bersih dan rapi. Jauh dari kesan kumuh seperti layaknya warung makan di area pasar.
Siang kemarin, Jumat, 29 Juli 2022, aku mendatangi kedai legendaris itu. Beberapa motor terparkir di depan kedai. Melihat pakaiannya, mereka adalah pekerja kantor yang sedang menikmati makan siang.
Sepintas terlihat menu yang mereka santap, nasi tahu telor. Hanya sedikit yang memesan rujak cingur, termasuk aku.
Aku memilih duduk di meja saji yang berhadapan dengan ruang masak. Sengaja kupilih tempat itu agar bisa melihat proses pembuatan rujak dan berbincang dengan penjualnya. Seorang perempuan berjilbab yang kuperkirakan berumur 50 tahun.
“Tahu lontongnya laris mbak,” tanyaku membuka obrolan. Perempuan itu tersenyum sambil menghembuskan nafas panjang. Menunjukkan tengah kelelahan usai mengulek bumbu di atas cobek.
“Saya makan di sini sejak sampeyan masih belum bisa masak. Tahun 1980-an,” sambungku untuk menarik perhatian.
Benar saja, perempuan itu memandangku, mencoba untuk mengenali. Tentu saja tidak akan kenal.
“Saya sudah jadi pelanggan rujak di sini sejak SD. Dulu diajak bapak saya ke sini saat masih kecil. Tempat ini tidak pernah berubah. Mas itu juga masih sangat muda,” kataku menunjuk laki-laki yang sedang menggoreng telur. Kupastikan dia adalah anak pemilik warung yang meneruskan usaha ini. Sedangkan perempuan di depanku adalah istrinya.
Merasa kusebut, laki-laki paruh baya itu menghampiriku, mencoba menyapa pelanggan lamanya. “Bapak sampeyan pasti teman bapakku,” katanya ramah. Detik berikutnya kami bertiga larut dalam obrolan masa lalu tentang kedai itu.
Dulu saat aku masih kecil, kedai ini dikenal dengan menu rujak cingurnya. Selain enak, ciri khas rujak di sana adalah potongan cingur yang tebal. Komponen yang satu ini tak banyak ditemukan pada penjual rujak rumahan kala itu. Tak heran jika harga rujak cingur di tempat itu sedikit lebih mahal di banding lainnya.
Bapakku mengajak ke kedai itu saat tanggal muda. Sehari setelah menerima uang gaji sebagai guru sekolah menengah pertama. Selain rujak cingur di Pasar Pahing, tempat makan yang dikunjungi pada tanggal muda adalah nasi campur Bu Harjo di Pasar Bandar.
Di tengah obrolan, seporsi rujak cingur tiba di mejaku. Wujudnya persis rujak cingur lainnya dengan petis hitam yang pekat. Volumenya tak terlalu banyak hingga terkesan nyempil di tengah piring. Jauh lebih sedikit dibanding saat aku menyantapnya puluhan tahun silam.
Rasanya cukup stabil, standar rujak cingur yang disukai lidah masyarakat Kediri. Cita rasa ini bisa lebih asin jika disantap warga Madura, atau lebih manis saat diulek warga ‘kulonan’.
“Pak Tris meninggal tahun 1999, disusul ibu pas peringatan seratus harinya bapak,” tukas Rifai, anak laki-laki yang kini menjadi penerus kedai itu. Dia adalah generasi ketiga sejak kakek neneknya merintis usaha itu pada zaman pendudukan Jepang.
Tak banyak cerita yang dia peroleh soal pendirian kedai era kakeknya. Rifai hanya mengikuti fase bapak ibunya, yang kini dia teruskan bersama istrinya.
Rifai memang tak bisa membuat rujak sama persis seperti bapak ibunya. Tetapi dia bisa meracik tahu telor yang lebih diterima masyarakat kekinian. Terbukti menu yang paling banyak dipesan siang itu adalah tahu bumbu dan tahu telor. Selain disantap di sana, tak sedikit yang minta dibungkus dengan jumlah banyak.
Harganya juga biasa, Rp13.000 per porsi untuk tahu telor dan rujak cingur. Tak ada menu lain selain dua jenis makanan itu.
Setiap hari Rifai dan istrinya membuka kedai pada pagi hari hingga pukul 16.00 WIB. Tempat makan itu bisa tutup lebih awal jika persediaan bahan masakan mereka sudah habis. “Capek nguleknya kalau terus sampai malam,” seloroh istri Rifai.
Percakapan kami berakhir saat aku berdiri untuk membayar. Rifai langsung menyahut piring kosong di depanku dan mengelap mejanya. Perilaku itu juga dilakukan kepada pelanggan lain hingga membuat kedai mungil itu selalu bersih dan rapi.
Penampilan Rifai dan istrinya juga terlihat rapi. Rifai bahkan memasukkan bajunya ke dalam celana, serta menutup kakinya dengan sepatu. Terlihat jika suami istri ini ingin menunjukkan kesan berkelas untuk kedai mereka. Murah tapi tidak murahan.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video: