Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Ditengah perkembangan zaman, ternyata aliran kepercayaan atau penghayat semakin digandrungi kawula muda di Tulungagung. Meskipun penghayat ini tidak semuanya murni, karena mereka juga memiliki identitas agama formil yang telah melekat.
Ketua Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Tulungagung, Sukriston mengatakan bahwa di Tulungagung terdapat 16 paguyuban penghayat berbadan hukum nasional dan 8 paguyuban penghayat lokal. Saat ini total keseluruhan ada sekitar 30.000 orang penghayat di Tulungagung.
Ktiston menyebutkan ada bermacam-macam paguyuban di Tulungagung, seperti Penghayat Perjalanan, Saptodarmo, Jowo Dipo, Sumara, Subut, Sapto Silo, Manunggaling Kawula Gusti, Pamu, RSBI, UPDKK, Paham Pribadi dan yang lainnya.
Menurutnya, rata-rata warga yang mengikuti penghayat juga memeluk agama formil. Pasalnya, penghayat di Tulungagung merupakan budaya panembahan, dimana keberadaan penghayat bukan menonjolkan identtas penghayatnya, melainkan lebih menonjolkan perannya.
“Penghayat di Tulungagung sudah terkondisikan sejak tahun 2000an. Memang kami lebih menonjolkan peran dari pada indentitas. Hal ini bertujuan untuk menghindari adanya benturan. Maka dari itu, di Tulungagung ini kami merasa damai tanpa ada diskriminasi,” kata Kriston kepada Bacaini.id, Sabtu, 4 Juni 2022.
Disinggung tekait akses warga penghayat terhadap fasilitas publik, pria berkacamata itu mengungkapkan bahwa saat ini penghayat bisa mencantumkan aliran kepercayaan pada KTP mereka melalui Dispendukcapil Tulungagung.
Dikatakannya, saat ini sudah ada sekitar 100 KTP warga penghayat di Tulungagung yang menunjukkan agama mereka. Karena menurut beberapa pemahaman warga penghayat, Adminduk bukanlah hal yang terlalu penting.
“Warga penghayat yang sudah mencatatkan aliran kepercayaan pada KTPnya rata-rata adalah mereka yang berwirausaha dan sudah berumur. Sehingga tidak ada hambatan, baik secara sosial ataupun lingkup pekerjaan,” terangnya.
Namun untuk warga penghayat remaja, hingga sekarang memang masih belum ada yang mencatatkan aliran agama pada KTP mereka. Kriston juga mengakui bahwa sampai saat ini belum ada lembaga pendidikan yang memberikan fasilitas pendidikan bagi putra-putri penghayat di Tulungagung.
Laki-laki berusia 68 tahun itu menambahkan, jika dulu sempat ada salah satu lembaga pendidikan di Kecamatan Bandung yang memasukkan pelajaran aliran kepercayaan untuk putra-putri penghayat, namun hal itu tidak bertahan lama.
“Di sekolah-sekolah memang sekarang ini belum ada, tapi kalau aturan layanan pendidikan sebenarnya sudah ada dari Peraturan Menteri hingga turunannya. Di dalamnya juga sudah diatur terkait penyuluhannya, yakni penyuluh kepercayaan dan penyuluh terampil,” pungkasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira