Bacaini.id, KEDIRI – Sempat berjaya sebagai negara penghasil gula dan sentra tanaman tebu, produksi gula nasional berangsur redup. Bahkan sejumlah pabrik gula di Jawa tak bisa mempertahankan operasional.
Ketua Umum Dewan Pembina DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), HM Arum Sabil mengatakan turunnya industri gula ini salah satunya akibat belum adanya sinergi pemerintah dengan arah pemberdayaan pertanian tebu.
Dikutip dari merdeka.com, Arum Sabil menyebut pertanian tebu tidak memiliki nilai ekonomi bagi petani. Akibatnya mereka lebih memilih menanam komoditas lain yang memiliki nilai jual lebih. Fakta ini memicu turunnya areal lahan tebu di Indonesia dari tahun ke tahun. Dalam medio 2016-2019 saja luas areal tebu berkurang hampir 70.000 hektar.
Efisiensi pabrik tebu turut menyumbang keterpurakan ini. Jika tahun 1930an pabrik gula bisa menghasilkan hampir 3 juta ton per tahun dengan luas areal lahan tebu sebesar 200.000 hektar, saat ini hanya mampu menghasilkan 2,1 juta ton per tahun dengan luas lahan tebu dua kali lipat, yakni 400.000 hektar.
Kondisi ini memaksa pengelola pabrik tebu untuk melakukan diversifikasi usaha. Pabrik gula tidak boleh terpaku hanya memproduksi gula saja. Tetapi harus menciptakan produk komersial di samping gula kristal putih. Seperti memproduksi gula jadi berbentuk gula cair, gula putih tumbuk, gula berbentuk kubus, atau pengolahan tetes tebu yang bisa dijadikaan bioetanol dan bahan baku MSG.
Peluang seperti itu belum mampu ditangkap pabrik gula di Indonesia. Beberapa di antaranya karena alat yang belum tersedia dan tidak adanya kajian tentang pembaruan teknologi di pabrik gula, baik dari perguruan tinggi atau lembaga riset.
Ketua Asosiasi Industri Kecil dan Menengah, Agro Suyono, menyebutkan harga gula lokal juga lebih mahal hingga Rp 2.000 per kilogramnya dibandingkan gula rafinasi impor. Gula rafinasi juga tidak mengandung molasis (sampah mikro, bakteri dan kuman) yang masih menempel di gula.
Kandungan molasis dalam makanan dapat mempercepat kadaluwarsa. Selain itu, gula rafinasi juga selalu tersedia dari Januari sampai Desember. Sedangkan ketersediaan gula lokal harus menunggu musim panen. Inilah yang membuat permintaan gula impor terus meningkat.
Sekretaris Jenderal Kementan Momon Rusmono kepada Kompas.com menjelaskan kebutuhan gula sepanjang Januari-Mei 2021 sebanyak 1,21 juta ton. Sementara stok gula dalam negeri diperkirakan sebesar 940.480 ton.
Artinya, hingga akhir Mei 2021 stok gula Indonesia defisit sekitar 278.484 ton. Kebutuhan ini bisa dipenuhi dengan importasi gula untuk konsumsi.
Baca selanjutnya Es Tebu Usaha Rakyat Yang Menggeliat
Penulis: Tiza Seftiana
Editor: HTW
Tonton video: