Bacaini.id, BANGKALAN – Stigma celurit sebagai piranti kekerasan cukup melekat di kalangan masyarakat Madura. Namun di tangan Ahmad Fattah, celurit menjadi mahakarya yang menghidupi keluarganya secara turun temurun.
Di sebuah rumah sederhana di Dusun Rembah, Desa Galis, Kabupaten Bangkalan, Ahmad Fattah menyulap batang-batang besi menjadi celurit yang indah. Menggunakan peralatan sederhana seperti palu dan perapian, Ahmad Fattah menempa lempengan besi dengan tekun.
Membuat sebilah celurit dengan alat sederhana bukan pekerjaan mudah. Mula-mula lempengan besi dipotong seusai ukuran yang dikehendaki. Selanjutnya dibakar dalam perapian dengan suhu tinggi, untuk selanjutnya ditempa berulang kali hingga terbentuk model yang dikehendaki.
“Bagian yang paling melelahkan adalah menempa (memukul) dengan palu besi. Untuk membuat lempengan besi yang tipis, dibutuhkan palu besi berukuran besar,” kata Fattah kepada Bacaini.id, Sabtu 5 Agustus 2021.
Bukan hanya berat, benturan antar logam yang keras membuat seluruh bagian tangan bergetar. Belum lagi hawa panas yang disebarkan dari lempeng besi usai dibakar menambah ‘siksaan’ para perajin besi seperti Fattah.
Proses seperti itu harus dilalui Fattah dalam waktu cukup lama. Menyulap batang besi menjadi celurit atau peralatan lain tak semudah membalik telapak tangan. Tak heran jika jumlah perajin besi tempa makin berkurang dari waktu ke waktu. Di Desa Galis, hanya terdapat sekitar 20 perajin saja.
Selain Desa Galis, perajin besi tempa juga bermukim di Desa Peterongan yang berbatasan langsung dengan Desa Galis. Dua desa di Kecamatan Galis ini dikenal sebagai sentra perajin besi tempa.
Fattah sendiri mendapatkan ilmu pandai besi dari orang tuanya. Keluarganya dikenal sebagai perajin besi di Desa Galih yang terus mewarisi profesi itu hingga sekarang.
Tak terhitung berapa banyak peralatan rumah tangga yang telah mereka tempa. Mulai celurit, pisau dapur, cangkul, parang, hingga hiasan dinding. Produk itu dijual dengan harga mulai Rp 20 ribu hingga Rp 1,5 juta.
Selain itu, Fattah juga kerap mendapat pesanan celurit dan pisau sebagai alat pelindung diri. Pesanan itu biasanya datang dari para kaum ‘blater’ atau tokoh masyarakat tertentu. “Apalagi di bulan beccek (bulan bagus) seperti bulan Muharam sekarang ini, lumayan banyak,” ungkapnya.
Di musim pandemi seperti saat ini, Fattah mencoba memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi. Ini untuk mensiasati turunnya omzet akibat lemahnya daya beli masyarakat.
Fattah membandingkan omzet yang diraih sebelum dan setelah pandemi saat ini. Jika sebelum pandemi dia bisa meraup Rp 400 ribu per hari, aaat ini anjlok hingga separuh. “Kadang hanya Rp 100 ribu per hari. Dapat Rp 200 ribu jarang,” katanya.
Meski demikian, Fattah yang bergelar sarjana pendidikan dari STKIP PGRI Bangkalan tetap setia menekuni menjadi pandai besi. Dia juga tercatat sebagai pengajar di sebuah lembaga sekolah.
Menjadi pandai besi tak semata untuk menambah penghasilan, tetapi kesetiaan pada warisan leluhur.
Penulis: Rusdi
Editor: HTW
Tonton video: