Proses pengambilalihan tanah tidak dilakukan secara terburu-buru. Ada tahapan panjang yang harus dilalui, seperti sebuah ritual peringatan yang berulang. Dimulai dengan pemberitahuan awal, lalu surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Jika dalam kurun waktu total 587 hari sejak surat pertama tidak ada perubahan, barulah tanah tersebut ditetapkan sebagai objek land reform.
“Langkah pertama adalah BPN kirim surat. Tiga bulan dikasih kesempatan. Tiga bulan masih tidak ada aktivitas, kirimi surat, peringatan pertama. Tiga bulan lagi dikirimi surat, tidak ada keterangan lagi, peringatan kedua,” jelas Nusron dengan rinci, menggambarkan proses yang hampir seperti sebuah tarian birokrasi yang teratur.
Keseluruhan proses memakan waktu hampir empat tahun—dua tahun awal ditambah 587 hari proses peringatan, sebelum tanah resmi dikategorikan sebagai telantar. Waktu yang cukup panjang bagi pemilik untuk “membangunkan” tanah mereka dari tidur panjangnya.
“Jadi misal bapak-bapak sekalian punya HGU atau punya HGB, sudah dua tahun tidak diapa-apakan, maka pemerintah bisa tetapkan jadi tanah telantar,” tegas Nusron, mengingatkan bahwa tidak ada pengecualian dalam kebijakan ini.
Di balik kebijakan ini terdapat semangat reforma agraria, yakni upaya pemerintah untuk mendistribusikan kembali tanah kepada masyarakat, terutama kelompok yang tidak memiliki atau kekurangan lahan. Tanah-tanah yang “tertidur” ini nantinya akan “dibangunkan” kembali, bukan untuk tidur panjang, melainkan untuk memberikan manfaat bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Jika para pemilik tanah mungkin merasa terancam, bagi jutaan rakyat Indonesia yang tidak memiliki lahan, kebijakan ini adalah secercah harapan di tengah ketimpangan kepemilikan tanah yang masih menjadi realitas pahit di negeri ini.
Penulis : Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono