Nusron Wahid berdiri di podium Hotel Bidakara. Suaranya lantang memperingatkan para pemilik lahan di seluruh Indonesia.
Bacaini.ID, JAKARTA – Sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid tidak sedang bersendau gurau. Ia memperingatkan para pemilik tanah yang tertidur tanpa aktivitas selama dua tahun berturut-turut akan kembali ke pangkuan negara.
“Terhadap yang sudah terpetakan dan besertifikat, manakala sejak dia disertifikatkan dalam waktu dua tahun tidak ada aktivitas ekonomi maupun aktivitas pembangunan apa-apa atau dalam arti tanah tersebut tidak didayagunakan kemanfaatannya, maka pemerintah wajib memberikan surat peringatan,” ujar Nusron di hadapan peserta Pengukuhan dan Rakernas I PB IKA-PMII Periode 2025-2030, Minggu 13 Juli 2025.
Lahan luas dengan rumput liar yang tinggi di antara pepohonan menjadi pemandangan yang banyak ditemukan di Indonesia. Inilah potret tanah telantar yang kini menjadi sasaran kebijakan pemerintah. Dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia, 1,4 juta hektare di antaranya kini berstatus tanah terlantar.
Mengenal Tiga Jenis Hak Atas Tanah di Indonesia
Kebijakan pengambilalihan tanah telantar ini berlaku untuk semua jenis hak atas tanah, termasuk tiga jenis utama yang dikenal masyarakat; yakni Sertifikat Hak Milik (SHM), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Guna Bangunan (HGB). Masing-masing memiliki karakteristik dan ketentuan berbeda.
Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah. SHM bersifat turun-temurun dan tidak memiliki batasan waktu. Hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat memiliki tanah dengan status SHM.
Contoh: Keluarga Budi memiliki sebidang tanah seluas 500 meter persegi di Depok dengan SHM. Mereka dapat mewariskan tanah tersebut kepada anak-cucu mereka tanpa batasan waktu, menjualnya, atau membangun rumah di atasnya sesuai keinginan.
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, khususnya untuk keperluan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU diberikan untuk jangka waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun lagi.
Contoh: PT Agro Nusantara memiliki HGU seluas 5.000 hektare di Kalimantan Timur untuk perkebunan kelapa sawit. Perusahaan ini memiliki hak mengelola lahan tersebut selama 35 tahun dan dapat mengajukan perpanjangan hingga 25 tahun berikutnya. Jika tidak dimanfaatkan selama dua tahun berturut-turut, pemerintah dapat mencabut hak tersebut.
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. HGB diberikan untuk jangka waktu maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun berikutnya.
Contoh: PT Properti Jaya memiliki HGB untuk membangun kompleks apartemen di atas tanah seluas 2 hektare di Jakarta Selatan. Perusahaan ini memiliki hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah tersebut selama 30 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan 20 tahun. Jika dalam dua tahun setelah mendapatkan HGB tidak ada aktivitas pembangunan, pemerintah dapat memberikan peringatan dan berpotensi mencabut hak tersebut.
Proses Pengambilalihan yang Bertahap (halaman selanjutnya)