Bacaini.ID, BLITAR – Soesilo Toer, adik sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer menapaki lantai kedai kopi Sinar Remaja Kota Blitar dengan langkah tertatih.
Kehadiran Soesilo Toer di Kota Blitar Rabu 5 Februari 2025 sore itu dalam rangka merayakan 100 Tahun Kelahiran Pramoedya Ananta Toer.
Pak Sus, begitu biasa disapa, mengenakan kaos hitam bergambar Pramoedya dipadu celana bahan warna krem. Rambut putihnya awut-awutan, tertiup angin.
Wajahnya yang tirus berhias jenggot panjang yang menutup sebagian bibir mengingatkan pada raut Leo Tolstoy, sastrawan besar Rusia.
Iwan Kurniawan alias IW dengan telaten menuntunnya. Mengiringi langkahnya mulai dari kendaraan hingga menuju kursi panjang yang telah disiapkan.
Iwan pegiat literasi sekaligus pengampu acara bertajuk Tour Toer Tualang di 15 Kota di Jawa Timur, lebih terlihat seperti cucu yang sedang mendampingi kakeknya ketimbang penanggung jawab acara.
Dalam rangka perayaan 100 Tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer itu, nyatanya ia mengurus kelangsungan acara seorang diri.
“Pak Sus itu tidak merokok, berbeda dengan Pak Pram yang perokok berat. Kalaupun ngopi, pak Sus lebih ke kopi susu,” tutur Iwan menjelaskan.
![](https://bacaini.id/wp-content/uploads/2025/02/Pramoedya-ananta-toer.jpg)
Sore itu suasana kedai kopi seduh Sinar Remaja yang berlokasi di Pasar Wage Kota Blitar telah ramai muda-mudi milenial dan gen Z.
Mayoritas para penggemar buku karya Pramoedya: roman tetralogi Pulau Buru, Arok Dedes, Arus Balik, Perburuan, Gadis Pantai, Sang Pemula dan lainnya.
Beberapa diketahui sebagai pegiat literasi, sinema, jurnalis dan ada juga aparatur sipil negara (ASN). Mereka menunggu kehadiran Soesilo Toer sejak pukul 3 sore.
Di kursi, Pak Sus terlihat duduk dengan posisi menyandar. Pandangannya menghadap audiens di mana pada deretan terdepan banyak anak muda.
Angin yang berhembus cukup kencang membuat doktor lulusan kampus Rusia itu beberapa kali menyipitkan mata. Segelas kopi susu hangat tersuguh di depannya.
Di usia 87 tahun, kebugaran fisik Pak Sus terlihat banyak mengalami penurunan. Terutama saat berjalan, tampak tertatih dengan setengah menyeret kaki.
Namun kendati demikian semangatnya masih menyala, terutama ketika bertemu banyak orang. Ia masih mampu bercerita, mendongeng, berdiskusi.
Sebelum tiba di Kota Blitar siang itu, Pak Sus diketahui mengisi acara yang sama di Pasuruan.
Bisa jadi prinsip tidak kenal takut dalam menjalani hidup adalah kuncinya. Prinsip hidup yang ia dapatkan dari Pramoedya Ananta Toer.
“Kata Pram (Pramoedya Ananta Toer) hidup harus berani, karena hanya mereka yang berani yang bisa menaklukkan dunia. Menang kalah adalah urusan lain,” katanya.
Semangatnya yang tidak pernah padam itu juga dipengaruhi pandangannya tentang manusia.
Hakikat manusia, kata dia adalah kebebasan jiwa dan kemerdekaan berfikir. Menurutnya pikiran manusia tidak bisa dikungkung.
“Pikiranmu tidak bisa diberangus. Inti dari manusia adalah kebebasan,” katanya.
Soesilo Toer diketahui lahir di Blora, Jawa Tengah 17 Februari 1938. Sementara Pramoedya lahir 6 Februari 1925. Lentingan perjalanan intelektual Pak Sus dimulai di Negara Rusia.
Pada Oktober 1962 ia mendapatkan beasiswa S2 di Patrice Lumumba University di Uni Soviet. Namun gelar doktornya didapat dari Institut Perekenomian Rakyat Plekhanov
Pada saat itu Pramoedya Ananta Toer adalah petinggi Lekra yang menggawangi media Bintang Timur dan sekaligus sastrawan yang disegani.
“Saya menyelesaikan S2 hanya tiga semester lebih dua jam,” kenangnya.
Dengan ragam skil yang dimiliki, Pak Sus cerita jika selama di Rusia dirinya telah mendapat 12 penghargaan dari pemerintah setempat.
Ia juga mengklaim sebagai orang Indonesia yang pertama kali menginjakkan kaki di kutub utara. Kendati demikian, di mata Pramoedya, dirinya tidak banyak dilihat.
Pak Sus menuturkan, jika Pramoedya hanya dua kali menyebut namanya. “Pertama di novel Bukan Pasar Malam, anak kecil yang menangis itu saya,” tuturnya.
Kemudian, pada momentum Pram menjadi tahanan politik Pulau Buru. Pram mengatakan doktor lulusan Rusia bernama Soesilo Toer itu adik kandungnya.
Pram mengemukakan hal itu dengan nada kebanggaan. “Padahal saya itu menyebut Pram 10 kali,” katanya sembari ketawa.
Keluarga Kediri
Dalam forum kecil itu Pak Sus juga bercerita tentang Mastoer, ayahnya dan anak-anaknya yang sebagian besar aktif di bidang literasi.
Anak-anak Mastoer, kata Pak Sus bisa disebut sebagai keluarga pengarang atau penulis dan penerjemah.
Mastoer diketahui menikahi anak seorang penghulu asal Rembang Jawa Tengah. Pramoedya mengabadikan kisah orang tua ibunya itu dalam novel Gadis Pantai.
Dari pernikahan Mastoer dengan perempuan Rembang lahir Pramoedya Ananta Toer dan adik-adiknya, termasuk Soesilo Toer dan Koesalah Soebagyo Toer.
Seluruhnya ada 10 anak, di mana 6 di antaranya dikenal sebagai penulis atau pengarang. Sedangkan 4 lainnya menjadi penerjemah.
“Dari 10 orang anak itu, saya anak nomor delapan,” kata Pak Sus.
Mastoer sendiri, kata Pak Sus berasal dari Kediri, tepatnya Ngadiluwih. Nama Mastoer diambil dari peristiwa meletusnya Gunung Batur di Bali yang abunya sampai ke Kediri.
Ayah Mastoer bernama Imam Bajuri, warga asli Kediri yang pada masa kolonial Belanda bekerja sebagai penghulu di wilayah Plosoklaten, dan kemudian pindah ke Ngadiluwih.
![](https://bacaini.id/wp-content/uploads/2025/02/pramoedya1.jpg)
Menurut Pak Sus, neneknya atau istri Imam Bajuri berasal dari Surabaya, yang berlatar belakang keluarga nahdliyin. “Nenek saya NU,” terangnya.
Dalam perjalanannya, Mastoer kemudian memulai karir di Blora Jawa Tengah, aktif di PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan sekaligus sebagai pendidik.
Mastoer yang berkesadaran tinggi pentingnya pendidikan, mendidik anak-anaknya dengan keras. Saking kerasnya, Pram pernah dipaksa tinggal kelas lantaran dianggap belum cakap.
Dalam sejumlah catatan menyebut, memori masa kecil itu diakui Pram begitu menyakitkan dan karenanya ia sulit melupakannya.
Dalam kesempatan itu Pak Sus juga menyinggung soal proses kreatif Pramoedya sebagai pengarang. Ia menyebut Pram mahir dalam menggabungkan fakta dan fiksi.
Keahlian yang tidak banyak dimiliki pengarang di jamannya. Dicontohkannya novel tetralogi Buru.
Dalam ceritanya, Pramoedya lihai membuat fiksi seolah sebagai fakta, dan begitu sebaliknya. “Pram pandai menggabungkan fakta dan fiksi,” bebernya.
Pak Sus juga tidak percaya Pramoedya seorang atheis dan komunis seperti yang banyak dikatakan orang. Yang ia ketahui Pram menikah secara Islam.
Kemudian menyebut nama Tuhan pada saat kakaknya itu berada dalam situasi yang membuatnya tidak memiliki pilihan lagi.
Seperti diketahui acara Tur Toer Tualang 15 Kota di Jatim dalam rangka 100 Tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer ditutup di Kabupaten Tulungagung.
Sebelum berakhir di Tulungagung Pak Sus memulai road show pada 22 Januari 2025 di Bojonegoro di mana secara geografis berdekatan dengan Blora.
Dari Bojonegoro berlanjut menggelinding ke Tuban, Lamongan, Gresik, Surabaya, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Kediri, Pare, Malang, Pasuruan dan Blitar.
Selamat Milad Bung Pram, karyamu abadi.
Penulis: Solichan Arif