Bacaini.ID, BLITAR – Tiga orang laki-laki warga Kota Blitar Jawa Timur membawa bubur yang diwadahi dalam takir daun pisang berhias janur.
Juga ambeng yang isinya nasi, urap sayuran, dan ayam berbumbu lodho. Bersama warga lain yang bersimpuh di atas tikar, mereka menyambut bulan Muharram.
Bulan Muharram yang dirayakan pada malam Jumat Kliwon (26/6/2025) dikenal sebagai bulan Suro dalam penanggalan Jawa.
Bagi umat Islam di Indonesia, Muharram dirayakan sebagai tahun baru Islam. Bagi orang Jawa diyakini sebagai bulan yang keramat.
Selama bulan Suro orang Jawa diketahui menghentikan seluruh hajat. Mereka memilih menjamas pusaka: keris, tombak, gong dan sejenisnya.
Yang bertempat tinggal di kawasan pesisir pantai selatan Jawa menggelar ritual larung sesaji, labuh laut dan semacamnya.
Sementara di Negara Pakistan yang berjarak tempuh 14 jam 26 menit dari Indonesia, umat Islam di sana menganggap Muharram sebagai bulan perkabungan.
Puncaknya pada 10 Muharram atau Ashura yang diperingati sebagai tragedi perang Karbala.
Sebuah peristiwa yang memilukan: gugurnya Imam Hussain, cucu Nabi Muhammad SAW melawan pasukan Yazid pada 61 hijriyah.
Perang Karbala adalah simbol keberanian mengorbankan nyawa untuk membela kebenaran, melawan kebatilan.
Larangan Bulan Suro
Sebagian besar masyarakat Jawa meyakini Suro atau Muharram sebagai bulan yang keramat.
Mereka patuh terhadap semua pantangan atau hal-hal yang dilarang dilakukan selama bulan Suro.
Berikut sejumlah pantangan selama berlangsungnya bulan Suro:
Tidak boleh gelar hajatan
Mulai pernikahan, khitan, tujuh bulanan atau pesta besar lainnya. Kalau dilanggar diyakini akan mendatangkan kesialan atau marabahaya pada keluarga.
Dilarang membangun rumah atau pindah rumah
Membangun atau pindah rumah diyakini akan mengganggu energi suci yang berlaku di bulan Suro. Keseimbangan spiritual akan rusak.
Tidak keluar rumah saat malam 1 Suro
Pada malam 1 Suro, secara metafisika diyakini banyak makhluk halus beraktifitas, sehingga keluar malam dianggap berbahaya.
Tidak gaduh
Selama bulan Suro ada pantangan untuk tidak bicara berisik, tertawa keras atau mengucapkan kata-kata buruk. Ucapan buruk dipercaya bisa jadi kenyataan.
Penulis: Solichan Arif