Mobil Honda Freed warna putih berhenti di depan rumah. Persis saat aku melepas siswa terakhir peserta bimbingan belajar pukul 20.00 WIB.
Sempat kukira salah parkir, tiba-tiba kaca depan sebelah kiri bergerak turun. Aku tak mengenali pengemudinya. Namun dia mengacungkan ibu jari ke belakang, memintaku menengok kaca tengah yang kemudian turun. “Loh, Pak Samsul,” ucapku melihat penumpang di balik kaca.
Masih di dalam mobil, mantan Wali Kota Kediri periode 2009 – 2014 itu mengucapkan salam sambil merapatkan telapak tangan. Aku terkejut, karena sosok ini sudah lama terlupakan usai meninggalkan kursi pemerintahan.
“Jika berkenan dan tidak merepotkan, saya ingin jalan-jalan dan makan bersama Mas Hari,” ucapnya memecah kebuntuan. Aku mengangguk dan berbalik ke dalam rumah untuk pamit pada istriku.
Dengan kecepatan sedang mobil yang kami tumpangi berjalan meninggalkan Perumahan Persada Sayang. Berputar-putar menyusuri Kota Kediri, sebelum akhirnya melesat ke arah selatan.
Aku jadi pendengar di mobil itu. Duduk di samping kanan Pak Samsul, mendengar dan menganalisa semua perkataannya. Hingga mobil putih itu meninggalkan gapura perbatasan Kabupaten Kediri dan masuk wilayah Tulungagung, tak sedikitpun dia menyinggung soal politik. Aku makin berpikir keras.
Pak Samsul justru menceritakan aktivitasnya setelah tidak menjabat wali kota. Mulai bekerja di rumah sakit Surabaya, merawat keluarga, hingga membantu kulakan baju di Tanah Abang Jakarta. “Saya ikut manggul pakaian di Tanah Abang untuk dijual di Kediri,” katanya tertawa.
Satu yang kuingat dari kisah keluarganya adalah bagaimana dokter spesialis penyakit dalam itu merawat anaknya yang menderita kelainan otak. Bocah laki-laki itu bukan anak kandungnya, melainkan bayi yang lahir di Rumah Sakit Gambiran dan ditinggalkan orang tuanya.
Karena penyakitnya, anak itu membutuhhkan perhatian khusus dan tidak bisa melakukan aktivitas fisik secara normal. Secara rutin dia juga harus mendapatkan suntikan untuk menstimulus otaknya. “Makanya saya tidak bisa pergi lama-lama dari rumah, tidak ada yang menggendong anak saya kalau ke kamar mandi,” katanya.
Laju mobil mulai melambat di Jalan WR Supratman Kutoanyar Tulungagung. Pengemudi membelokkan mobil di kedai sate kambing yang ramai. Kami turun dan mencari meja kosong. Aku masih diam saat Pak Samsul memesankan satu mangkuk gule dan 10 tusuk sate kambing untukku.
Usai menyantap sate tanpa bumbu kacang, mobil bergerak menuju Masjid Jami di alun-alun Tulungagung. Dia meminta izin untuk sholat Isya, dan menawarkan untuk sholat berjamaah jika aku belum sholat.
Aku baru bisa meraba maksud ajakannya saat perjalanan pulang ke Kediri. Dengan hati-hati Pak Samsul mengungkapkan keinginannya untuk maju sebagai Wali Kota Kediri pada pilkada tahun 2018. Aku menarik nafas panjang dan kembali diam.
“Saya sudah mengevaluasi diri, dan ingin memperbaiki apa yang sudah saya lakukan di pemerintahan dulu. Saya ingin mendengar pendapat Mas Hari sebagai jurnalis yang dulu kritis kepada saya,” katanya usai berpanjang lebar menjelaskan konsep dan gagasan jika dipercaya masyarakat Kediri.
“Panjenengan menemui saya tentu sudah melalui penyaringan informasi dan pertimbangan. Saya merasa terhormat telah dimintai pendapat, mengingat bagaimana dulu tidak pernah menulis baik soal Bapak. Semua saya kembalikan kepada panjenengan,” kataku atas keinginannya meminta tambahan waktu (injury time) memimpin Kota Kediri.
Pertemuan itu bukan terakhir kali. Beberapa kali Pak Samsul kembali menghampiri ke rumah untuk sekedar berjalan-jalan menyusuri suasana malam Kota Kediri. Membicarakan kondisi Jembatan Brawijaya, kampus negeri Universitas Brawijaya, serta Rumah Sakit Gambiran yang didesain untuk menyediakan layanan kesehatan yang layak. Semua itu adalah monumen pembangunannya.
Lama tak mendengar kabarnya, pagi tadi takmir Masjid Al Ikhlas Persada Sayang mengumumkan berita duka. Samsul Ashar telah berpulang pukul 03.30 WIB di salah satu rumah sakit Surabaya.
Ingatanku langsung terlempar ke masa lalu, saat memberondong pertanyaan pedas atas kepemimpinannya sebagai wali kota. Meski belepotan, tak pernah sekalipun dia menghindar. Apalagi menebar gimmick recehan di dunia maya. Al Fatihah.
Penulis: Hari Tri Wasono
Disclaimer: tulisan ini tidak mewakili kebijakan Redaksi Bacaini.id