Bacaini.ID, KEDIRI – Pada awal reformasi, yakni tepatnya 3 Agustus 1999, Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengusulkan mantan Presiden Soeharto untuk diperlakukan sesuai hukum Islam.
Gus Dur usul Soeharto diberi pengampunan sesuai fiqh atau hukum Islam yang berlaku, namun disertai syarat yang harus dipenuhi.
Soeharto diketahui dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan pemerintahan selama bertahun-tahun.
Atas perbuatannya terjadi salah urus perekonomian yang berakibat negara Indonesia mengalami krisis ekonomi dan pangan.
Usulan Gus Dur dilontarkan di sela perjamuan makan siang di Istana Negara bersama Presiden Habibie beserta sejumlah pimpinan partai politik (parpol).
“Dia (Soeharto) harus memberikan sejumlah uang kepada sebuah badan khusus yang kemudian akan menyalurkannya kepada rakyat,” ujar Gus Dur seperti dikutip dari buku Hak Gus Dur Untuk Nyleneh.
Badan khusus atau komisi itu terdiri dari lima orang, yang akan menetapkan berapa jumlah yang harus dibayar Soeharto kepada rakyat guna mengatasi krisis pangan dan investasi.
Gus Dur mendasari usulannya dengan rasa pesimistis hukum formal bisa mengadili Soeharto.
Sistem hukum formal akan sulit membuktikan Soeharto melakukan penyelewengan kekuasaan. Keputusan hukum formal juga akan sulit dijalankan.
Presiden Partai Keadilan (saat ini PKS) Nur Mahmudi Ismail menyatakan menolak usulan Gus Dur. Begitu juga dengan Ketua DPP PDIP Soetardjo Suryoguritno.
Begitu juga dengan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra menyatakan tidak sependapat dengan Gus Dur. Alasannya penyelesaian hukum formal perlu dilakukan.
Apakah pengampunan yang diberikan perlu keputusan hakim atau tidak, harus diperjelas.
Sementara A.M Fatwa, salah seorang Ketua PAN berpendapat perlu adanya kompromi antara hukum dan politik. Hal ini sejalan dengan pandangan Ketua Umum PAN Amien Rais.
Gus Dur tetap kukuh dengan usulannya, yakni menolak penyelesaian Soeharto dengan hukum formal.
Jika mengikuti hukum formal, kata Gus Dur ujung-ujungnya Soeharto akan dinyatakan tidak bersalah.
Gus Dur kembali bicara soal usulannya dua hari pasca pertemuan itu.
Ia memberi contoh pengalaman di negara Iran dan Filipina. Pemerintah gagal mengambil kekayaan hasil KKN rezim Marcos dan Syah Iran dalam jumlah yang berarti.
Menurut Gus Dur, penyelesaian secara hukum hanya mungkin dilakukan negara yang memiliki demokrasi yang sudah mapan.
Sementara Indonesia di mata Gus Dur akan mencapai kemapanan demokrasi itu secara bertahap. “Di banyak negara, hal itu bisa tercapai setelah ratusan tahun,” tegasnya.
Penulis: Solichan Arif