Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengeluarkan Instruksi Panglima TNI tanggal 5 April 2024 yang menggantikan penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jika sebelumya saat menggunakan istilah KKB maka pendekatan yang digunakan dalam penanganan konflik di Papua adalah melaksanakan penegakan hukum karena kejahatan tindak pidana kelompok kriminal bersenjata dan kejahatan teroris, sifatnya hanya internal dalam negeri saja. Meskipun yang menjadi leading penegakan hukum selaku aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini adalah POLRI, tetap dibantu dan dibackup oleh TNI.
Jika masih disebut sebagai KKB dan melakukan beberapa tindak pidana kepemilikan senjata tanpa ijin, melakukan pidana pembunuhan, pembunuhan berencana, pemerkosaan, pengrusakan dan pembakaran rumah penduduk, pidana terorisme dan sabotase maka pasal-pasal pidana yang dapat dikenakan oleh KKB diantaranya adalah KUHP Pasal 108 dan 110 tentang pidana makar atau pemberontakan yang diancam pidana kurungan dua puluh tahun. Kemudian pelanggaran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 1 tentang penggunaan senjata api secara ilegal yang dapat diancam hukuman penjara seumur hidup dan pidana mati. Sedangkan pengenaan pasal berlapis lainya jika diikuti pidana pengrusakan barang orang lain, pemerkosaan, pembunuhan, pembunuhan berencana sesuai dengan ketentuan pasal-pasal dalam KUHP. Disini yang berlaku adalah hukum nasional.
Namun, jika KKB diubah menjadi OPM. Maka secara langsung pemerintah dalam hal ini melalui Instruksi Panglima TNI telah mengakui keberadaan KKB yang telah menjadi OPM adalah organisasi separatisme/pemberontak. Artinya tidak hanya hukum nasional yang berlaku tetapi juga hukum internasional, yaitu hukum humaniter internasional. Menurut pakar hukum internasional Mochtar Kusumaatmadja, subyek hukum internasional diantaranya adalah negara, organisasi internasional, palang merah internasional, Takhta Suci Vatikan, Pemberontak dan Individu. Sesuai hukum perang, kelompok pemberontak dapat menjadi subyek hukum internasional jika telah terorganisir menaati hukum perang, memiliki wilayah yang dikuasai, memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, dapat menentukan nasibnya sendiri, menguasai sumber daya alam di wilayah yang dikuasainya dan memilih sistem ekonomi, politik dan sosial sendiri. Bellingeren atau pemberontak yang sah atau unlawful bellingeren (pemberontak yang tidak sah) menjadi subyek hukum internasional apabila sudah diakui keberadaanya oleh dunia internasional, dan mendapatkan konsekuensi hukum sebagai layaknya subyek hukum internasional. Beberapa contoh upaya untuk dapat pengakuan internasional adalah seperti GAM dulu secara terang-terangan berperang melawan TNI, organisasi PLO (Pembebasan Palestina) melakukan pembajakan pesawat untuk mendapat perhatian dunia internasional. Termasuk diantaranya upaya KKB Papua menyandera pilot Susi Air asal Australia juga sebagai salah satu upaya ingin mendapat pengakuan dari dunia internasional agar menjadi subyek hukum internasional.
Menurut Pasal 43 Protokol Tambahan I Tahun 1977 sebagai penyempurnaan dari Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 disebutkan bahwa angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai terdiri dari angkatan bersenjata yang terorganisir (organized armed forces), group dan unit yang berada dibawah komando yang bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya sekalipun pihak itu diwakili oleh pemerintah atau penguasa yang tidak diakui oleh pihak lawan (adverse party). Kombatan tersebut harus tunduk kepada sistem disiplin kesatuan yang antara lain berisikan pelaksanaan ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam pertikaian bersenjata.
Perlu diketahui bahwa hukum internasional ini sesuai ketentuan Konvensi Jenewa 1949 mengatur tata cara penggunaan alat dan cara bertempur/berperang, perlindungan korban perang yang harus melibatkan pihak internasional atau pihak negara lain sebagai penengah. Seperti kasus GAM, menjadikan pihak Swedia sebagai juru runding atau penengah. Hal ini jika pihak penengah netral tidak menjadi masalah, namun jika pihak ketiga atau organisasi internasional justru ikut campur atau justru memperkeruh suasana maka akan sangat merugikan pihak Indonesia. “Hal ini harus dipertimbangkan dengan matang oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini TNI terkait penggantian nama KKB Papua dengan OPM”, saran Sari Amalia Dosen Hukum Internasional Universitas Prof. Dr. Moestopo.
Selain itu anggota atau pimpinan OPM di dalam negeri atau diluar negeri dapat mengajukan suaka politik kepada negara lain. KKB menjadi OPM menjadikan setara sebagai kelompok separatisme seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Maluku Selatan (RMS) dan mereka berhak meminta suaka politik. Berbeda jika status mereka bukan sebagai separatis, mereka harus tunduk hanya pada hukum nasional. Dengan demikian isu tentang Papua bukan lagi isu dalam negeri, tetapi menjadi isu internasional.
Menurut Sari Amalia, SH., LLM., keterlibatan TNI dalam konflik Papua ini agar dapat lebih maksimal dapat dengan menggunakan payung hukum Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018 bahwa TNI dapat terlibat dalam pencengahan dan pemberantasan “aksi” terorisme (aksi lebih luas cakupannya dibandingkan “tindak pidana” terorisme) melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Pelibatan asing, organisasi internasional dengan kondisi tatanan global saat ini susah untuk mencari pendapat yang obyektif dan adil. Kita bisa melihat konflik Palestina-Israel, konflik Israel-Iran, konflik Hamas-Israel. Standar ganda pihak ketiga berdasarkan kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara.
Menurutnya dengan tetap menggunakan istilah KKB dengan jeratan tindak pidana dan aksi terorisme dengan pasal-pasal berlapis pidana lainnya dalam KUHP dan UU Terorisme sudah cukup efektif dengan kolaborasi penegakan hukum oleh POLRI dibantu oleh TNI. Namun hal ini harus dibarengi dengan percepatan pembangunan, penyebaran penduduk di Papua, Otonomi Khusus Papua yang tepat sasaran dan membuat langkah dan program jangka panjang dalam resolusi konflik Papua agar konflik semakin menurun.
Terbukanya informasi melalui media dan media sosial membuat masyarakat Papua juga semakin kritis. Pemberian otonomi khusus yang disalahgunakan karena disisi lain juga menciptakan raja-raja kecil di daerah yang akhirnya terjerat kasus korupsi tetapi kemudian menggunakan isu separatisme untuk menutupi perilaku korupnya tidak akan mudah diterima oleh masyarakat untuk dijadikan alat politik adu domba. Salah satu bagian dari langkah resolusi konflik di Papua adalah dengan semakin meningkatknya good governance dan clean government di Papua dan pembangunan infrastruktur di Papua, “Saya yakin Papua akan berangsur aman dan damai”, tanpa perlu banyak campur tangan asing dan pihak ketiga yang kita tidak tahu netralitasnya seperti apa?, ujar Sari kepada Bacaini.Id yang baru mendarat dari Amerika Serikat.
Penulis: Danny Wibisono