Bacaini.ID, KEDIRI – Sebuah studi baru memperingatkan industri kreatif agar berhati-hati dalam menggunakan bantuan kecerdasan buatan (AI) untuk menulis cerita baik buku maupun film.
Cerita yang memakai bantuan AI dimungkinkan memiliki feel yang sama satu dengan lainnya.
Penelitian yang melibatkan ratusan sukarelawan dan dipublikasikan di Science Advances, muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran dampak alat AI yang bisa mengubah perintah teks sederhana jadi musik, seni, dan tulisan.
Alat AI ini tersedia secara luas. Penelitian tersebut bertujuan mempelajari sejauh mana dan bagaimana AI generatif dapat membantu kreativitas manusia.
Untuk eksperimen, peneliti dari Universitas Exeter merekrut sekitar 300 sukarelawan sebagai “penulis”. Mereka adalah orang-orang yang tidak berprofesi sebagai penulis. Kemampuan kreatif mereka dinilai berdasarkan tes psikologi standar.
Para ilmuwan kemudian membagi mereka secara acak menjadi tiga kelompok untuk menulis cerita delapan kalimat salah satu dari tiga topik: petualangan di laut lepas, petualangan di hutan, atau petualangan di planet lain.
Peserta juga ditempatkan secara acak ke dalam tiga kelompok yang menerima bantuan AI yang berbeda-beda.
Kelompok pertama tidak mendapatkan bantuan AI, kelompok kedua diberikan ide cerita tiga kalimat dari ChatGPT, dan kelompok ketiga dapat menerima hingga lima ide cerita yang dihasilkan AI.
Setelah menyelesaikan cerita mereka, peserta diminta untuk menilai kreativitas karya mereka, yakni seberapa baru karya tersebut, seberapa menyenangkan, dan seberapa besar potensi ide diubah jadi buku yang diterbitkan.
Sebagai tambahan penilaian hasil dari eksperimen ini, sebanyak 600 orang dilibatkan untuk menilai cerita yang dihasilkan oleh para sukarelawan dengan panduan yang ditentukan peneliti.
Para relawan penulis rata-rata berasumsi bahwa AI meningkatkan kualitas kreativitas seorang penulis hingga 10 persen, dan tulisan jadi enak dibaca meningkat 22 persen, terutama membantu pada elemen-elemen seperti struktur dan alur cerita.
Efek paling signifikan ini terjadi pada relawan penulis yang selama tugas awal dinilai sebagai yang paling tidak kreatif.
Namun secara kolektif, mereka menemukan bahwa cerita-cerita yang dibantu AI terlihat jauh lebih mirip satu sama lain dibanding cerita-cerita yang dihasilkan tanpa bantuan AI.
Hal ini karena para relawan penulis menjadi terlalu “terikat” pada ide-ide yang disarankan oleh AI. Para ilmuwan menilai hal ini sebagai “dilema sosial”.
Pada satu sisi teknologi AI mempermudah orang berkreasi, membantu memberi ide-ide, namun di sisi lain menjadikan kebaruan kolektif seni menurun. Hal itu bisa berdampak buruk pada keanekaragaman dan kebebasan ide.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hal itu seperti halnya memperkenalkan kalkulator saku terlalu dini kepada anak-anak, yang itu berpotensi menghalangi mereka mempelajari cara melakukan aritmatika dasar.
Bahayanya, orang-orang dapat terlalu bergantung pada teknologi AI sebelum mengembangkan keterampilan dasar menulis, musik atau seni lainnya.
Saran yang diberikan oleh para ahli adalah setiap individu diharapkan mampu secara tepat menentukan timing penggunaan AI untuk mendapatkan manfaat maksimal dan tetap berpedoman pada ide-ide orisinil sendiri.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif