Bacaini.id, KEDIRI – Sejak ratusan tahun silam masyarakat Bugis memiliki tradisi ritual Sijagang Laleng Lipa. Sebuah tata cara adat untuk menyelesaikan konflik antar dua laki-laki dengan bertarung dalam sebuah sarung.
Mekanisme adat ini bisa dibilang cukup ekstrim mengingat dua pria yang berselisih faham disatukan dalam sebuah sarung. Keduanya akan saling serang menggunakan senjata tajam dalam perkelahian jarak pendek, hingga sama-sama mati atau sama-sama hidup. Dalam ritual ini jarang ditemukan satu pihak mati atau hidup sendirian.
Ritual Sijagang Laleng Lipa pertama kali muncul pada masa Kerajaan Bugis ratusan tahun lalu. Adu kekuatan merupakan solusi terakhir ketika mekanisme musyawarah menemui jalan buntu. Biasanya persoalan ini menyangkut harga diri keluarga dan menimbulkan perselisihan panjang.
Dengan cara ini, maka kedua belah pihak tidak akan ada dendam lagi. Apapun hasil dari pertarungan itu, kedua pihak harus sama-sama lapang dada dan menerima. Sehingga perseteruan bisa diselesaikan dan tidak menimbulkan keributan di mana-mana.
baca ini Fenomena Perang Sarung di Kediri
Keputusan untuk menyelesaikan persoalan dengan Sijagang Laleng Lipa diambil melalui mekanisme ketua adat. Masing-masing pihak harus menyepakati jalan itu dan tidak boleh ada yang saling memaksakan.
Selanjutnya setiap keluarga akan memilih satu anggota keluarga mereka yang memiliki kemampuan bertarung terbaik. Mereka akan berkelahi menjaga kehormatan keluarga sampai mati.
Tak sekedar tangan kosong, masing-masing petarung dibekali senjata berupa badik oleh keluarganya, yang merupakan senjata tradisional warga Bugis. Menggunakan badik keluarga ini, petarung Sijagang Laleng Lipa akan berjuang untuk menghabisi musuhnya di dalam sarung.
Saking sakralnya tradisi ini, Fariz Alniezar dalam buku berjudul Homo Homini Humor (2019), yang dikutip dari artikel VOI berjudul ’Sigajang Laleng Lipa: Budaya Saling Tikam di Dalam Sarung untuk Selesaikan Masalah’, mengungkap filosofi yang dalam dari perkelahian itu.
Bahwa semua masalah yang telah masuk ke dalam sarung, tak boleh lagi dipersoalkan di luar sarung. Segalanya berhenti di dalam sarung.
“Masyarakat Bugis kuno mengenal tradisi Sigajang Laleng Lipa (duel satu sarung). Ketika ada pertikaian antara dua pihak, jika keduanya menemui jalan buntu untuk berdamai, jalan terakhir untuk menyelesaikan masalah adalah dengan cara berduel,” tulis Alniezar.
Filosofi tersebut hampir sama dengan tradisi Pencak Dor yang dikenal kalangan pesantren di mataraman. Tradisi yang dikenalkan oleh pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, KH Maksum Jauhari ini memiliki motto yang sama, ‘di atas lawan di bawah kawan’.
Motto itu mengikat setiap pendekar pencak yang memiliki persoalan untuk menganggapnya selesai ketika turun dari gelanggang.
Masih dalam artikel tersebut, Budayawan Sulawesi Selatan, Feby Triadi mengungkap jika ritual Sigajang Laleng Lipa tidak bisa dilangsungkan setiap lali bertikai. Bukan begitu cara mainnya.
Untuk menuju tradisi saling tikam, ada tiga cara penyelesaian masalah yang lazimnya disebut sebagai “Tellu Cappa”.
Tellu Cappa terdiri dari:
Cappa Lila (ujung lidah), yakni upaya menyelesaikan masalah dengan perundingan, negosiasi atau musyawarah;
Cappa Laso (ujung penis/kemaluan), penyelesaian yang diambil dengan menikahkan anggota keluarga yang berseteru, jika jalan pertama buntu. Dengan ikatan keluarga, diharapkan tak terjadi lagi konflik yang berkepanjangan;
Cappa Kawali (ujung badik). Ini adalah jalan terakhir penyelesaian masalah dengan cara kekerasan.
Penulis: Hari Tri Wasono
Tonton video:
Comments 1