Bacaini.id, NGANJUK – Syekh Malik Al Athos merupakan salah satu Waliyullah yang berjasa menyiarkan agama Islam di Nganjuk. Hingga akhir hayatnya, Syekh Malik Al Athos dimakamkan di selatan Masjid Assyafi’iyah di Desa/Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk.
Syekh Malik Al Athos lahir di Kota Samarkand, dekat dengan Kota Bukhoro, Republik Azerbaijan. Di sana Syekh Malik Al Athos dibesarkan dan dididik oleh ayahnya, Sayyid Zaiunul Kusen.
Juru Kunci Makam Syekh Malik Al Athos, Aries Trio Effendi mengatakan bahwa Syekh Malik Al Athos datang dari negaranya bersamaan dengan Wali Songo angkatan kedua.
“Beliau merupakan Wali Songo angkatan kedua juga adik dari Syekh Jumadil Kubro (Wali Songo angkatan pertama) yang makamnya berada di Kecamatan Trowulan, Mojokerto,” kata Aries kepada Bacaini.id, Minggu, 24 April 2022.
Makam Syekh Malik Al Athos memiliki panjang empat meter. Menurut Aries, ukuran tersebut bukan semata-mata karena beliau memiliki tinggi badan sepanjang makamnya.
Panjang makam itu merupakan simbol kehormatan kepada Syekh Malik Al Athos sebagai tokoh besar agama Islam sekaligus menghargai jasa-jasanya dalam syiar yang dilakukannya di Nganjuk.
Syekh Malik Al Athos bersama dengan Syekh Malik Ibrahim, dan Ki Ageng Cecek Molek mulai menyebarkan agama Islam di wilayah Ngetos dan sekitarnya tepat pada masa runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Pada masa itu, mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Hindu yang cukup kental dan kuat dengan pusatnya di Desa Tajum. Hingga akhirnya, Syekh Malik Al Athos memutuskan memulai syiarnya di sana.
“Desa ini memang merupakan peradaban Hindu yang sangat kental dan cukup besar, kalau sekarang bahasanya pesantren lah,” terangnya.
Syekh Malik Al Athos, lanjutnya, mulai datang ke Desa Tajum sekitar tahun 1480 Masehi. Dalam syiarnya, Syekh Malik Al Athos menggunakan sarana prasarana peninggalan Kerajaan Majapahit yang masih tersisa.
Desa Tajum sendiri sebenarnya merupakan sebutan Desa Ngetos pada masa Kerajaan Majapahit. Lambat laun, nama desa itu berubah pada masa syiar yang dilakukan Syekh Malik Al Athos.
“Dalam perjalanan dakwahnya, nama Desa Tajum disebut dengan Desa Ngatas Angin. Sehingga nama Syeikh Malik Al Athos akhirnya dikenal dengan sebutan Sunan Ngatas Angin,” ungkapnya.
Juru kunci makam itu juga menjelaskan bahwa Masjid Assyafi’ah yang jaraknya hanya beberapa langkah dari makam Sunan Ngatas Angin dahulunya merupakan paseban, atau semacam pendopo yang digunakan umat Hindu melakukan kegiatan peribadatan menghadap ke Candi Ngetos.
Candi Ngetos dipercaya sebagai tempat pendharmaan abu jenazah Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Hingga saat ini pun Candi Ngetos juga masih menjadi salah satu lokasi wisata di Nganjuk. Lokasi tepatnya berada di sebelah timur Masjid Assyafi’ah.
“Masjid itu awalnya paseban untuk umat Hindu. Setelah ditinggalkan pemeluknya, pada masa syiar Sunan Ngatas Angin, tempat itu dimanfaatkan sebagai masjid yang sampai sekarang ini juga masih digunakan,” bebernya.
Selain itu, dengan islamisasi yang dilakukan Sunan Ngatas Angin, atap Candi Ngetos juga dimanfaatkan untuk jam matahari sebagai penanda waktu shalat. Begitu pula dengan patirtan yang juga peninggalan Kerajaan Majapahit, kini diubah menjadi tempat wudhu.
Hingga hari ini, makam Sunan Ngatas Angin sang Waliyullah selalu dikunjungi peziarah, terlebih pada bulan Ramadan.
“Bulan Ramadan seperti ini peziarah selalu ramai. Tidak hanya penduduk Nganjuk, tapi juga banyak yang datang dari luar daerah,” pungkasnya.
Penulis: Asep Bahar
Editor: Novira