Bacaini.id, JAKARTA – Masa SMP dan SMA memang paling manis untuk dikenang. Selain kenakalan bersama teman sekelas, keseruan study tour dan field trip adalah memori yang tak terlupakan.
Momen rekreasi berbalut belajar ini rutin dilakukan di setiap sekolah. Selama tiga tahun belajar, mereka mendapat jatah satu kali rekreasi yang bisa dilakukan saat kenaikan kelas dua ke kelas tiga.
Bagi institusi sekolah, study tour bukan sekedar agenda rutin, melainkan gengsi. Makin jauh dan keren lokasi yang dituju, makin menaikkan pamor sekolah tersebut. Beberapa sekolah di kota besar Indonesia bahkan tercatat pernah menggelar study tour ke luar negeri.
Tak peduli dengan kondisi orang tua siswa yang tak seragam di sektor pendapatan. Yang penting happy dan gengsi.
Ironisnya, keseruan yang diharapkan menjadi momen terindah ini justru menjadi tragedi bagi siswa SMK Lingga Kencana Depok. Tak ada yang menduga jika momen perpisahan itu akan menjadi perpisahan selamanya bagi 9 siswa dan satu guru yang meninggal dunia.
Bus yang mereka tumpangi menuju Depok dalam perjalanan pulang dari Lembang Bandung terguling akibat rem blong di Ciater, Subang, Sabtu, 11 Mei 2024. Sebuah kecelakaan yang dipicu ketidaklayakan kendaraan dan ketidakprofesionalan awak bus serta pemiliknya.
Insiden rem blong tidak akan terjadi jika kendaraan tersebut rutin dan lolos uji KIR oleh Dinas Perhubungan. Dalam beberapa kasus, pemilik kendaraan sengaja berhemat akibat perang tarif yang terjadi antar sesama pemilik bus.
Mengapa bisa begitu?
Pengelola bus, baik yang mendapat order langsung dari sekolah maupun agen travel, dipaksa menekan harga serendah mungkin. Ini agar mereka bisa memberikan duit balik atau ‘kick back’ kepada pemberi order.
Di sinilah mata rantai mafia study tour muncul. Bukan hanya melibatkan oknum guru atau pejabat sekolah, tetapi melebar hingga Dinas Pendidikan dan anggota dewan yang menjadi mitra kerja pendidikan. Sejumlah LSM juga kerap disebut dalam pelaksanaan study tour di beberapa kota.
Keberadaan mereka secara langsung membuat standar kelayakan angkutan study tour dikorbankan. Akibatnya keselamatan dan nyawa pelajar menjadi taruhan.
Selain armada, praktik nyolong duit juga terjadi di lini penginapan, tour guide, hingga konsumsi. Maka jangan heran jika usai pelaksanaan study tour banyak orang tua siswa yang komplain tentang kelayakan penginapan dan makan anak mereka.
Tragedi berdarah yang menimpa siswa SMK Lingga Kencana selayaknya menjadi momentum pemerintah untuk mengevaluasi pelaksanaan study tour. Termasuk membabat habis praktik mafia study tour yang mengeruk keuntungan dari orang tua siswa.
Penunjukan penyedia transportasi yang tidak dilakukan melalui mekanisme pelelangan secara transparan harus diakhiri. Seluruh orang tua siswa wajib dilibatkan dalam proses tersebut. Mulai pemilihan kendaraan, penginapan, katering, hingga menentukan lokasi kunjungan.
Jika tidak, memori indah ini akan menjadi tragedi berdarah.
Penulis: Danny Wibisono*
*)Kontributor Bacaini.id Jakarta