Bacaini.ID, BLITAR – Ini kopi yang pernah diangkat di film Filosofi Kopi. Film yang diadaptasi dari cerpen karya Dewi Lestari, penyanyi yang lompat haluan jadi penulis.
Saat Andi Yuwono Katip membuka perekat wadah bubuk kopi yang ia perlihatkan, wangi robusta sontak merebak keluar. Harum yang khas.
Bubuk kopi Semendo, hasil panen petani Semenden, Muara Enim Sumatera Selatan. Kopi dari kawasan pegunungan Bukit Barisan dan paling terkenal seantero Pulau Andalas.
“Seduh sendiri atau tak seduhkan?,” tanyanya memberi pilihan.
Ia sodorkan stoples gula aren. Gula warna merah bata serupa kelir baret Cakrabirawa. Sepertinya Katip lebih suka manis nira aren ketimbang gula tebu.
Ia letakkan mug bersablon tokoh Samin Surosentiko di sebelah gula ‘Cakrabirawa’. Samin, pahlawan petani pencetus ajaran Saminisme asal Blora Jawa Tengah.
Para pengikut Samin yang dikenal dengan sebutan sedulur sikep meluas di sebagian wilayah Bojonegoro, Blora hingga Rembang dan Pati Jawa Tengah.
Mereka lebih banyak menempati kawasan pinggir hutan jati dengan prinsip hidup komunal dalam berkepemilikan. Semua yang ada di atas bumi milik Tuhan dan warisan nenek moyang.
Pada saat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengamini pembangunan pabrik semen Indonesia, komunitas Samin lah yang menentang keras. Samin versus Semen.

“Kamu saja yang meracik kopinya. Tamu ngikut tuan rumah,” kata saya mengambil opsi.
Untuk yang kedua kalinya bau harum kembali meruyak saat bubuk kopi Semendo bersenyawa dengan air mendidih teraduk sendok kuningan.
Katip begitu akrab disapa, kelihatanya terbiasa menakar. Komposisi bubuk kopi robusta dan gula cakrabirawa racikannya pas di lidah.
“Enak?,” tanyanya dan saya menganggukkan kepala.
Bukan bermaksud basa-basi atau memuji lantaran sudah disuguhi. Nyatanya rasa kopi di mug Samin memang pas. Tidak manis, tapi juga tak kepahitan.
Kopi Semenden punya cita rasa soft, lembut. Kalau dicecap lebih serius, menyelinap halus rasa rempah. Mungkin di asalnya banyak tumbuh tanaman rempah.
Seperti kopi di wilayah Wonosobo dan Temanggung, Jawa Tengah yang punya sedikit cita rasa tembakau. Membuktikan kopi berkarakter penyerap.
Cerita soal kopi pun memanjang. Dari Semenden, Katip melanjutkan ke blue mountain. Biji kopi yang tumbuh di lereng Gunung Raung dan Ijen, kawasan pegunungan Hyang di Jawa Timur.
Ia berjejaring dengan para petani kopi di sana, mulai dari hulu hingga hilir. Dari perkebunan hingga pasar.
“Orang lokal menyebutnya kopi blawu, tapi kami memperkenalkan di pasar kopi dengan nama blue mountain,” terangnya.
Ekor cerita ditutup dengan kopi ekselsa (C. Liberika var. Dewevrei) di kawasan lereng Gunung Anjasmoro, Wonosalam, Kabupaten Jombang.
Dari literasi yang dieksplor, kopi ekselsa di Wonosalam diketahui didatangkan dari negara Liberia oleh kolonial Belanda pada tahun 1875.
Di pasar kopi dunia, kopi Wonosalam Jombang pernah jadi kompetitor kopi Brasil yang dikenal sebagai negara penghasil kopi terbesar di dunia.
Varietas kopi ekselsa dianggap lebih tangguh menghadapi penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) yang saat itu banyak merusak tanaman kopi arabika.
Masuknya kopi jenis robusta yang lebih tahan penyakit tanaman membuat banyak kopi ekselsa kemudian ditebang atau jadi batang bawah.
“Untuk lebih jelasnya baca saja buku Desa Wisata Benteng NKRI, saya menuliskannya di sana,” katanya.
Aktivis Gunung, Mahasiswa dan Desa Wisata
Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas, Andi Yuwono Katip sudah maniak gunung. Apa saja dilakukan untuk bisa mendaki gunung.
Uang terbatas bukan kendala. Nggandol truk, kereta api, menginap di rumah warga yang baru dikenal, jadi hal yang lumrah dilakukan.
Gaya hidupnya bohemian. Penampilannya nyentrik: rambut panjang digimbal ala Rastafara dengan scooter (vespa) jadi tunggangan ke mana-mana.
Bersama seorang kawan sehobi yang kini jadi akademisi di negeri Belanda, kata Katip semua gunung di Indonesia dijelajahinya.
Kecuali puncak Carstenz, Papua, semua puncak gunung di Nusantara pernah ditaklukannya. “Karena terpengaruh Soe Hok Gie,” katanya sembari ketawa.
Hobinya berpetualang: keluar masuk rimba, terus berlanjut hingga mahasiswa. Bahkan semakin menjadi-jadi yang itu membuat kuliahnya keteteran.
Di Blitar Raya Katip turut aktif mendirikan Djaladri, Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung. Kurang lebih 4 tahunan mondar-mandir Blitar-Yogyakarta.
“Padahal kuliah saya di Blitar. Tapi aktivitas lebih banyak di Yogya, ikut di kosnya Den Bagus Ngarso, tempat anak-anak Blitar yang kuliah di Yogya,” kenangnya.
Katip cerita, sebagai orang Blitar berdarah Pandulungan, yakni masyarakat Tapal Kuda berkebudayaan campuran Jawa-Madura.
Ia mengenal lebih jauh tentang Soekarno atau Bung Karno justru di tengah pedalaman hutan Palangkaraya Kalimantan Tengah.
Cerita tentang sosok Soekarno dituturkan oleh Ketua Suku Dayak Ot Danum atau Dohoi yang mendiami hulu sungai Palangkaraya.
Suku Dayak Ot Danum dikenal berwatak keras, namun sangat menghargai alam dan tradisi leluhur.
Ketua Suku yang masih keturunan Tjilik Riwut itu, kata Katib sontak memeluknya begitu dirinya mengenalkan diri dari Blitar Jawa Timur.
Sementara rekannya pendaki yang lain hanya dijabat tangan. Soekarno bagi suku Dayak Ot Danum bukan hanya presiden pertama Indonesia, tapi lebih dari itu.
“Saya bersama kawan-kawan pendaki 21 hari di hutan pedalaman Palangkaraya. Sepulang dari Palangkaraya saya mulai mendalami Soekarno,” kenangnya.
Katip berproses sebagai aktivis mahasiswa di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI). Organ yang dikenal dengan logo R dalam lingkaran (Rakyat Kuasa).
Meski di awal reformasi tergolong paling yunior, ia cukup intens terlibat kegiatan advokasi petani perkebunan, kasus sengketa agraria di Blitar Raya.
Sepulang dari pedalaman hutan Palangkaraya, Katip kemudian memantapkan diri sebagai aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
“Saya ber-FPPI dulu, baru kemudian ber-GMNI,” ungkapnya.
Dua kali menjajal peruntungan sebagai calon anggota legislatif namun belum beruntung, Katip memutuskan bergerak di wilayah desa.
Pada tahun 2009 ia mendirikan Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi). Sebuah gerakan riil bertagline ‘Melestarikan Alam, Memakmurkan Desa’ dengan isu Desa Wisata.
Katip turba (turun ke bawah) dari desa ke desa, mencari dan menggali potensi wisata yang ada. Ia merupakan Ketua Umum Asidewi.
Dengan tim kecil yang dimiliki, Katip bergerak dari Sabang hingga Merauke. Merintis pendampingan untuk terbentuknya desa wisata, utamanya dimulai di desa-desa perbatasan Indonesia.
Hingga tahun 2025 ini, sudah tidak terhitung jumlah desa wisata yang menjadi dampingannya.
“Di setiap titik bisa seminggu lebih, karena dimulai perencanaan, FGD, lokakarya hingga eksekusi. Desa Wisata merupakan benteng NKRI,” terangnya.
Seiring dengan berjalannya Asidewi, di rumahnya di lingkungan Mbadoet Kelurahan Tanggung, Kota Blitar, Katip mendirikan Rumah Badoet Kreatif (RBK).
Ia menyediakan tempat untuk berbagai komunitas seni budaya, termasuk pekerja kreatif untuk berkreasi, berdiskusi dan berliterasi.
Bukan hanya untuk seniman Blitar Raya, tapi dari mana saja. RBK yang dilengkapi dengan gazebo yang mirip pendopo Jawa itu berdiri pada 6 Juni 2012.
Tanggal dan bulan pendirian yang sengaja bertepatan dengan hari lahir Bung Karno.
Katip teringat, saat masih gila-gilanya mendaki gunung, di perjalanan ia banyak berjumpa orang baik yang membuat perjalanannya lebih mudah.
“Saya ingin membalas semua kebaikan itu. Teman-teman yang kebetulan di Blitar silahkan mampir dan menginap. Ada kamar, ada kopi, makanan, gratis,” pungkasnya.
Penulis: Solichan Arif