Bacaini.ID, JAKARTA – Pekan ini ruang rapat Komisi III DPR RI kembali jadi panggung panas. Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi sekaligus politisi Partai NasDem melempar bola panas kepada organisasi massa Pemuda Pancasila. Dengan nada tegas ia meminta agar ormas tersebut mengganti seragam lorengnya yang terlalu mirip dengan TNI.
“Jangan sampai masyarakat bingung, mana tentara beneran, mana ormas,” ujar Sahroni dalam rapat tersebut.
Ucapan Sahroni bukan tanpa alasan. Kementerian Dalam Negeri sudah jauh hari menerbitkan surat edaran yang melarang organisasi massa, partai politik, bahkan instansi pemerintah sipil menggunakan seragam yang menyerupai aparat penegak hukum seperti TNI atau Polri. Tapi di lapangan, loreng-loreng itu masih beredar bebas. Bukan hanya di jalanan, tapi juga di panggung politik, hajatan, hingga upacara pernikahan.
Doreng Jadi Identitas
Di Indonesia, mengenakan atribut militer adalah soal status. Baju doreng bukan sekadar kain motif kamuflase, melainkan simbol wibawa dan kekuasaan. Bahkan bagi sebagian orang doreng adalah simbol kejantanan.
“Budaya kita memang masih memandang tinggi simbol-simbol militeristik. Banyak orang menganggap tampil seperti tentara itu keren dan berwibawa,” kata Gusmia Arianti, Sosiolog Universitas Al Azhar Indonesia kepada Bacaini.ID, Jumat, 27 Juni 2025.
Beberapa ormas di Indonesia tercatat menggunakan seragam doreng sebagai representasi ‘kewibawaan visual’. Mereka antara lain Pemuda Pancasila, Banser NU, LSM Grib Jaya, Kosgoro, AMPI milik Golkar, hingga Banteng Muda Indonesia bentukan PDI Perjuangan. Tak jarang atribut mereka lebih ramai dibandingkan tentara sungguhan.
Negara Militer dalam Imajinasi Visual
Fenomena mengundang perhatian jurnalis internasional. Dalam sebuah laporan investigasi, Indonesia sempat dicap sebagai “semi-militer state” karena banyaknya warga sipil, mulai dari satpam hingga pegawai pemerintahan, yang mengenakan seragam bak aparat. Seragam satpam kini nyaris identik dengan polisi. Petugas imigrasi, ATR/BPN, bahkan staf DPR pun kadang tampil dengan seragam taktikal lengkap.
“Sulit membedakan siapa sipil dan siapa aparat. Semuanya terlihat seperti pasukan,” keluh seorang wisatawan asal Jerman di Bandara Soekarno-Hatta.
Dari Acara Ormas hingga ke Pernikahan

Fenomena lebih mencengangkan saat ini adalah ormas tak hanya memakai baju militer, tapi juga mengadopsi gaya hidup militeristik. Video viral yang menunjukkan anggota Banser NU menikah sambil berseragam lengkap diiringi upacara pedang pora menunjukkan fakta itu. Sebuah simbol yang sejatinya eksklusif milik TNI dalam perayaan pernikahan anggota mereka.
Latihan fisik ala tentara, formasi baris-berbaris, hingga kegiatan ala militer jadi menu rutin sebagian ormas. Semua demi meneguhkan citra “penjaga ideologi bangsa” dalam versi mereka sendiri.
Gengsi dan Tuduhan Munafik
Kritik Sahroni bukan tanpa respons. Abishalom Soerjosoemarno, putra Ketua Umum Pemuda Pancasila Yapto Soerjosoemarno, langsung menuding balik. Ia menyebut Sahroni sebagai “munafik”, karena menurutnya sang legislator pernah menjadi bagian dari ormas yang kini ia kritik.
“Dia itu dulu pernah jadi pengurus PP. Sekarang tiba-tiba sok suci,” kata Abi di akun media sosialnya.
Anomali Aturan
Meski Kemendagri sudah bersuara lewat surat edaran, pelaksanaannya di lapangan nyaris tak terdengar. Tidak ada sanksi yang jelas, tidak ada pembinaan yang konsisten. Seolah-olah negara hanya bisa berseru, tapi tak bisa menindak.
Pertanyaannya sederhana. Sampai kapan gaya ala militer dibiarkan membaur tanpa batas antara sipil dan aparat? Jika semua orang bisa menjadi “tentara” cukup dengan membeli baju loreng di Pasar Senen, lalu apa makna kewenangan dan otoritas yang seharusnya eksklusif?
Seragam bukan sekadar pakaian. Ia adalah simbol. Dan ketika simbol kehilangan maknanya, yang tersisa hanyalah tontonan.
Penulis: Danny Wibisono*
*) Kepala Litbang Bacaini.ID