Bacaini.ID, KEDIRI – Kungkang purba, Lestodon dan Megatherium, memiliki peranan penting dalam sejarah penyelamatan buah alpukat dari kepunahan.
Binatang-binatang raksasa di Zaman Es tersebut, yang merupakan nenek moyang Kungkang diketahui sebagai penggemar alpukat.
Pohon alpukat berasal dari Meksiko Tengah, tempat asal sejarah kunonya. Bukti arkeologis ditemukan oleh arkeolog Claude Earle Smith Jr.
Sisa-sisa kotiledon atau bakal daun alpukat, ditemukan dalam endapan Gua Coxcatlán, di Tehuacán, negara bagian Puebla.
Jejak sejarah alpukat ini diperkirakan berusia sekitar 10.000 tahun. Sementara negara bagian Nuevo León, Meksiko, memiliki sisa-sisa pohon alpukat primitif.
Dikutip dari Ripley’s, kungkang raksasa yang berukuran 4-5 meter ini berkeliaran di hutan-hutan Amerika Utara dan Selatan.
Seperti kungkang yang dikenal sekarang, mereka juga lamban. Namun kungkang prasejarah hidup di darat dan mampu berdiri dengan kaki belakang mereka.
Kontribusi kungkang raksasa pada kelestarian alpukat terjadi karena kebiasaan makan mereka yang melahap buah alpukat sekaligus bijinya.
Bijinya yang keras dan tidak bisa dicerna ini, pada akhirnya menyebar melalui kotoran dan tumbuh subur di tempat lain.
Budidaya alpukat oleh manusia
Ketika kondisi bumi semakin buruk dan hewan-hewan punah sekitar 13.000 tahun lalu, manusia purba berperan dalam keberlangsungan hidup ekosistem.
Pohon alpukat liar dibudidaya oleh penduduk kuno Meksiko, termasuk suku Aztec dan kelompok adat lainnya.
Kata ‘alpukat’ berasal dari bahasa suku Aztec, nahuatl, ahuacatl atau ahuakatl yang berarti buah zakar atau testis.
Penamaan ini juga berdasar pada keyakinan bahwa bentuk buah berkontribusi pada khasiatnya.
Karenanya, buah alpukat sejak dulu dikenal sebagai afrodisiak, dapat meningkatkan vitalitas.
Di Indonesia sendiri, alpukat diperkirakan masuk pada abad ke-19 dan diperkenalkan oleh orang-orang Belanda.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif