Bacaini.id, TULUNGAGUNG – Bencana banjir masih sangat melekat dalam benak masyarakat Tulungagung. Terhitung sebanyak tiga kali, Tulungagung dilanda banjir besar yang berdampak pada sosial, kesehatan dan ekonomi masyarakat kala itu.
Kasi Pembinaan dan Pengawasan Kearsipan, Dinas Perpustakaan Kabupaten Tulungagung, Joko Sugiono menjelaskan, berdasarkan topografi, Tulungagung terbagi menjadi tiga kawasan yakni, pegunungan, dataran rendah dan kawasan pantai. Bencana banjir sering terjadi di daerah dataran rendah yang berada di wilayah utara, selatan, tengah dan timur.
“Wilayah Tulungagung yang sering menjadi langganan bencana banjir berada di wilayah dataran rendah. Selain itu, salah satu penyebab banjir di Tulungagung adalah terjadinya sedimentasi di Sungai Brantas yang membuat air meluap,” jelas Joko kepada Bacaini.id, Selasa, 28 Juni 2022.
Dalam catatan sejarah, sambungnya, Tulungagung pernah dilanda banjir besar sebanyak tiga kali. Banjir besar pertama terjadi pada tahun 1942 yang merendam 9.000 rumah di 150 desa. Selain merendam rumah, banjir juga merusak area pertanian.
“Dalam masa penjajahan Jepang, kala itu Tulungagung tengah dilanda bencana banjir besar. Akhirnya pada 1943, Jepang membangun sebuah trowongan air di wilayah selatan Tulungagung yang bernama Niyama. Dengan sistem kerja paksa atau romusha. Hanya dalam waktu satu tahun, pembangunan Trowongan Niyama selesai dikerjakan,” terangnya.
Keberadaan trowongan air Niyama ternyata tidak dapat mengatasi bencana bajir di Tulungagung secara sepenuhnya. Pasalnya, 11 tahun paska dibangunnya Trowongan Niyama atau sekitar tahun 1955, Tulungagung kembali dilanda banjir besar. Bencana itu terjadi karena pendangkalan Sungai Brantas akibat letusan Gunung Kelud.
“Ketika itu banjir berdampak pada perekonomian masyarakat. Jika dihitung, dalam tiap tahun kerugian materil mencapai Rp 287 Juta. Selain berdampak pada perekonomian, banjir kala itu juga berdampak pada kesehatan. Banyak masyarakat Tulungagung yang terpapar penyakit kulit serta demam berdarah,” paparnya.
Saat itu, pemerintah berupaya mengatasi banjir dengan melakukan rehabilitasi Trowongan Niyama dengan memperlebar dan menambah panjang trowongan. Proyek rehabilitasi selesai pada tahun 1961.
“Setelah 10 tahun, tepatnya pada tahun 1971, Tulungagung dilanda banjir kembali, dengan penyebab yang hampir sama dengan banjir sebelumnya,” imbuhnya.
Menurut Joko, rehabilitasi pertama Terowongan Niyama ternyata hanya bersifat sementara. Butuh penambahan trowongan untuk dapat menampung debit air yang lebih besar. Akhirnya pemerintah melakukan rehabilitasi kedua dengan memperbaiki dua aliran sungai hingga selesai pada tahun 1986.
“Sejak itulah akhirnya bencana banjir di Tulungagung mulai berkurang. Bahkan hingga saat ini, Tulungagung sudah hampir tidak pernah dilanda banjir besar lagi,” pungkasnya.
Penulis: Setiawan
Editor: Novira