Bacaini.id, JAKARTA – Amerika Serikat mencemaskan Indonesia akan jatuh ke tangan orang-orang komunis. Gejala-gejala itu kian kentara jelang peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan akronim G30SPKI.
Gelombang unjuk rasa massa Pemuda Rakyat, BTI, Lekra dan SOBSI bergerak tiada henti-henti. Sasaran utamanya adalah kedutaan Amerika Serikat di Indonesia. Di mana-mana hingar teriakan anti imperialisme dan kolonialisme (nekolim).
Di mana-mana lantang tuntutan menasionalisasi aset asing. Di desa-desa, khususnya Kediri Jawa Timur yang menjadi basis pemenangan suara PKI pada Pemilu 1955, aksi sepihak dan kampanye ganyang 7 Setan Desa kian mengental.
Sementara Presiden Soekarno atau Bung Karno dinilai terkesan tutup mata. Meski menyatakan non blok, sikap politik luar negeri Bung Karno diketahui cenderung condong Blok Soviet.
Lantaran situasi yang mencekam itu, demi keselamatan, sejumlah pegawai konsulat telah dipulangkan. Washington melihat Partai Komunis Indonesia (PKI) dari hari ke hari semakin besar dan kuat.
Laporan intelijen tingkat tinggi pada awal September 1965 menyebut Indonesia kurang selangkah lagi menjadi negeri komunis. Setidaknya kurang 2-3 tahun lagi, PKI akan mendominasi.
“Indonesia di bawah Soekarno dalam hal-hal penting tertentu sudah bertindak seperti sebuah negara komunis dan lebih secara terbuka memusuhi AS ketimbang kebanyakan negeri-negeri komunis,” demikian dikutip dari buku Dalih Pembunuhan Massal (2008) karya John Roosa.
Indonesia adalah faktor penting untuk kepentingan politik luar negeri Amerika Serikat. Terutama masa perang dingin (antara blok barat dan blok timur) pasca Perang Dunia II, Indonesia merupakan domino terbesar di Asia Tenggara.
Bukan hanya bonus demografi, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam tambang dan mineral. Negeri berpulau-pulau dan bersuku-suku itu berkelimpahan minyak bumi, timah, dan karet.
Dengan investasi lebih besar, Indonesia berpotensi menjadi produsen emas, perak dan nikel. Bagi AS, kehilangan pengaruh atas Indonesia adalah kerugian besar dibanding lepasnya negara-negara Indochina.
Amerika Serikat tidak bisa membayangkan Indonesia jatuh ke tangan blok komunis. Bagaimana imbas lebih jauh terhadap perang dingin melawan Blok Soviet. Yang dilakukan AS selama ini adalah memasang pagar keamanan tinggi-tinggi.
Yakni dengan menguasai sejumlah negara Indochina agar komunis tidak mudah masuk dan menguasai Indonesia. Serangan militer Amerika Serikat terhadap Vietnam Utara terungkap sebagai upaya jangka panjang melindungi sumber daya mineral Indonesia yang luar biasa.
“Richard Nixon dalam pidatonya 1965 membenarkan pemboman atas Vietnam Utara untuk melindungi sumber daya mineral yang luar biasa di Indonesia”.
Meletusnya peristiwa G30SPKI dengan pusat pergolakan di Jakarta, membuat AS lega. Washington gembira mendengar kabar Mayor Jenderal Soeharto berhasil menumpas gerakan 30 September 1965.
Peristiwa G30SPKI membalikkan situasi politik di mana PKI yang sebelumnya berada di atas angin, tiba-tiba hancur berkeping-keping. Peristiwa G30SPKI jadi pintu masuk tergulingnya kekuasaan Bung Karno yang selalu melawan kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat.
Jurnalis New York Times Max Frankel dalam laporannya menyebut Washington dalam suasana cerah. Frankel menurunkan artikel berjudul: US is Heartened by Red Setback in Indonesia Coup (AS gembira karena kekalahan Kaum Merah dalam kudeta di Indonesia).
Artikel ditulis pada 10 hari pasca peristiwa G30SPKI di Indonesia. Kabar pembantaian terhadap para pimpinan, loyalis dan simpatisan pengikut PKI pada bulan-bulan berikutnya membuat harapan Washington atas Indonesia kian besar.
Jurnalis James Reston dalam editorial di New York Times menyebut “transformasi biadab” di Indonesia itu sebagai secercah cahaya di Asia.
Seolah tidak mau ketinggalan menggarami, kelompok intelektual asing, yakni Noam Chomsky dan Edward Herman menyebut peristiwa pembantaian di Indonesia pada tahun 1965 bermaksud baik atau teror yang konstruktif untuk melayani kepentingan politik luar negeri AS.
Yang ironis, pemerintahan Paman Sam memandang setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara Soviet dan sekutunya sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan musuh-musuhnya.
Begitulah PKI yang sebelumnya pernah menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia ditumpas kelor dengan “Metode Jakarta” hingga ke akar-akarnya.
Penulis: Solichan Arif