Bacaini.id, MOJOKERTO – Ditengah kemajuan teknologi yang semakin masif, tenun ikat tradisional di Kabupaten Mojokerto tetap eksis. Bahkan hasil produksinya menjadi salah satu ikon khas daerah yang dikenal dengan Bumi Majapahit ini.
Hingga saat ini, Kabupaten Mojokerto masih memiliki penenun tradisional. Dengan keterampilan dan ketelatenan terciptalah kain tenun bertema khas Mojopahitan. Motif tenun yang dihasilkan pun berkualitas dan layak menjadi referensi bagi pecinta fashion.
Satu-satunya industri tenun ikat tradisional skala kecil yang masih ada terletak di Dusun/Desa Kedunguneng, Kecamatan Bangsal. Sejak 2008, usaha yang didirikan oleh pasangan Budhi Iswanto dan Lina Hidayati ini telah menghasilkan beragam motif tenun ikat tradisional.
“Kami punya pola dan motif dengan ciri khas yang tidak dimiliki oleh pengrajin lain,” kata Budhi kepada Bacaini.id, Jumat, 16 Februari 2023.
Budhi mengungkapkan jika saat ini dirinya tengah fokus memproduksi kain tenun ala Mojokerto, diantaranya dengan motif Candi Wringinlawang dan Surya Majapahit. Kain ini diproduksi dengan berbagai macam warna terang seperti merah, biru kehijauan dan banyak lagi.
Pria berusia 38 tahun itu juga memastikan kualitas kain tenun ikat yang diproduksi dengan cara tradisional. Tentu saja dari bentuk fisiknya yang indah, warna kain juga tidak mudah luntur dan pudar, serta hangat dan nyaman saat dipakai.
“Desain Surya Majapahit sudah kami ajukan untuk dipatenkan, sebulan yang lalu,” ujarnya.
Ruang produksi kain tenun ikat tradisional berada di area belakang rumahnya. Di ruangan ini pula, tahap awal mulai dari proses mengolah bahan baku berupa benang kapas, pewarnaan dengan naptol dan indantren hingga finishing menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Untuk menjaga kualitas, pasutri ini mendatangkan benang dasar atau benang polos secara impor dari India. Benang yang digunakan untuk tahap awal produksi ini dipesan dengan harga Rp220.000 per kilogram.
“Kualitasnya lebih tinggi dan lebih mudah mengambil warna dibandingkan benang dalam negeri. Begitu juga dengan benang pakan,” jelasnya.
Bapak dua anak ini menyebutkan, proses produksi dari awal penyediaan bahan hingga selesai menjadi kain tenun membutuhkan waktu sekitar dua minggu. Kain dengan label RHL miliknya dijual dengan harga Rp250.000 per potong untuk semua motif.
Selain kain, RHL juga meluncurkan berbagai macam produk berupa kemeja, jaket, selendang, tas dan sarung dari kain tenun ikat. Produksi RHL siap pakai dijual paling murah Rp100.000 dan paling mahal Rp500.000.
“Tas tangan Rp100.000, syal Rp150.000, sarung Rp350.000, baju lengan panjang Rp400.000 dan paling mahal jaket Rp500.000.” sebutnya.
Lebih lanjut untuk pemasaran produk, awalnya memang hanya merambah pasaran lokal dan nasional. Namun seiring berjalannya waktu, produk RHL juga dikirim ke luar negeri. Uniknya, produk ini masuk pasar internasional ketika virus Corona mewabah.
“Awalnya pas pandemi kemarin ada orang sini yang mau bawa ke Timur Tengah. Dia pesan dengan ukuran dan bahan spek tertentu. Sampai sekarang juga masih jalan,” imbuhnya.
Dengan usaha dan kegigihannya, saat ini Budhi menjadi salah satu perajin tenun ikat binaan Disperindag Kabupaten Mojokerto. Tenun motif Candi Wringinlawang dan Surya Majapahit buatannya bahkan menjadi ikon pengrajin tenun tradisional di Mojokerto.
Penulis: Fio
Editor: Novira