Bacaini.id, MAGETAN – Adolf Hitler dan orang-orang Jerman memiliki jejak sejarah di wilayah Sarangan, Kecamatan Plaosan Kabupaten Magetan Jawa Timur. Di balik keindahan alam kaki Gunung Lawu itu, terselip cerita tentang kehidupan sejumlah orang Jerman pemuja Hitler.
Serupa dengan Prora Solitare Apartements & Spa yang menjadi tempat wisata, yakni bekas kamp liburan Nazi di Prora, Pulau Rugen Jerman yang akhir-akhir ini menarik perhatian wisatawan untuk menginap.
Wisata Sarangan Magetan pada masa pra kemerdekaan Indonesia pernah menjadi tempat bermukim orang-orang Jerman. Mereka yang ditempatkan di Sarangan adalah bekas interniran kolonial Belanda yang dibebaskan tentara Jepang.
Pada akhir tahun 1942, Sarangan disulap menjadi semacam kamp penampungan untuk orang-orang Jerman di Indonesia, yakni mereka yang tidak bisa pulang ke kampung halaman karena Eropa tengah dilanda Perang Dunia.
Hotel-hotel kecil untuk keluarga pun didirikan. Wisma-wisma untuk menerima tamu, bermunculan. Demi kelangsungan hidup orang-orang Jerman, yakni mayoritas ibu-ibu dan anak-anak, Sarangan dicetak seperti taman sorga.
“Di akhir 1942, daerah yang tertidur ini (Sarangan Magetan) mendadak berubah aktif dan kehidupan mulai menggeliat. Setelah masa yang kacau, tidak pasti dan dipermalukan oleh Belanda, para perempuan dan anak-anak Jerman seperti tinggal di taman Firdaus,” demikian dikutip dari buku Jejak Hitler di Indonesia.
Sarangan Magetan secara topografi berada pada ketinggian 1.400 meter. Terletak di kaki Gunung Lawu setinggi 3.200 meter, pemandangan Sarangan begitu elok sekaligus memikat.
Mereka yang menjejakkan kaki di Sarangan akan menyaksikan bukit-bukit yang dilumuti hutan tropis. Mereka juga dengan mudah memandang panorama lidah lava yang turun menuju lembah, serta telaga pasir yang berair jernih.
Ratusan perempuan dan anak-anak kebangsaan Jerman menikmati kehidupan mereka dengan nyaman. Anak-anak bersekolah dengan tenang. Kebutuhan hidup tercukupi dari sektor peternakan dan pertanian.
Mereka menghasilkan sendiri kentang, wortel, tomat, kubis, bawang bombay dan selada. Banyak buah-buahan murah yang dijual ke desa-desa. Demikian dengan kebutuhan daging segar, sosis dan roti, juga diproduksi sendiri.
Bahkan banyak sayur-mayur hasil produksi orang-orang Jerman di Sarangan Magetan yang dibawa ke pangkalan angkatan laut di Surabaya. Singkatnya, orang-orang Jerman di Sarangan hidup dalam berkelimpahan.
Mereka seolah hidup di sebuah pulau di Jerman dengan lingkungan alam yang eksotis dan bebas mengatur dirinya sendiri. “Festival panen juga dirayakan 1 Oktober sekalipun selalu ada panenan sepanjang tahun di Sarangan”.
Orang-orang Jerman di Sarangan Magetan merupakan para pemuja Adolf Hitler. Mereka sangat menghormati Hitler sebagai pemimpin terbesar Nazi Jerman. Karenanya mereka sontak berduka mendalam begitu mendengar Hitler telah tewas dan Jerman kalah perang. Ibu-ibu, para pria dan anak-anak mendadak kehilangan semangat.
Yang tersisa dari pandangan mereka hanya sorot mata sedih, kecewa dan sekaligus marah. Kabar duka itu diterima orang-orang Jerman Sarangan Magetan pada bulan Mei 1945. “Hitler mati? Idola yang kami percayai secara membabi buta itu mati? Lalu apa yang terjadi sekarang dengan kami?,” kata Hardy Zollner bekas murid Sarangan seperti dikutip dari Jejak Hitler di Indonesia.